Selasa, 24 Januari 2012

PERDAGANGAN KARBON SUMBER PAD

Dapatkah Perdagangan Karbon Menjadi  Sumber PAD Bagi Daerah Yang Berhasil Menjaga Hutan?
Oleh : Ir. Roland Hutajulu

Pemanasan Global (Global Warming) sudah merupakan masalah Internasional yang harus di antisipasi sedemikian rupa oleh setiap negara. Kenaikan suhu bumi, sudah di akui akan memberikan ancaman yang cukup serius bagi masyarakat dunia, karena perubahan kenaikan suhu bumi akan dapat memberikan bencana bagi umat manusia berupa iklim yang tidak menentu (berubah – ubah) seperti seringnya datang angin puting beliung, musim kemarau yang panjang, curah hujan yang sangat tinggi, sehingga mengganggu pada pola kehidupan masyarakat, yang tentunya membuat manusia makin sengsara. Disamping itu permukaan laut semakin naik karena gunung es, baik yang di kutub maupun yang di gunung akan mencair dan mengalir ke laut.

Mengapa terjadi Pemanasan Global?

Untuk menjelaskan ini, alangkah baiknya kita memperhatikan uraian berikut: jika kita memiliki rumah yang atap dan  dindingnya terbuat dari kaca tembus cahaya seperti green house. Jika cahaya matahari masuk ke dalam rumah tersebut maka akan terasa suhu di dalam rumah kaca tersebut, jauh lebih panas jika kita berada di luar rumah kaca, hal ini disebabkan karena panas dari sinar matanari tersebut tidak bebas keluar karena sudah terperangkap oleh atap dan dinding kaca. Hal seperti inilah yang terjadi pada bumi kita saat ini, dimana ada gas yang dihasilkan dari kendaraan bermotor, pabrik atau industri, pembakaran kayu, pembakaran lahan dan kebakaran hutan yang membuat lapisan di atmosfer berbentuk seperti lapisan kaca yang tembus cahaya. Gas tersebut di kenal dengan Gas Rumah Kaca (GRK) seperti CO2, CH4, N2O, PFC5, dan SF6.
Diperkirakan CO2 merupakan gas yang paling banyak membentuk lapisan kaca dimaksud. Disamping itu gas rumah kaca ini, juga dapat merusak lapisan OZON yang ada di atas lapisan atmosfir, yang dapat menimbulkan radiasi sinar Matahari langsung ke permukaan bumi.

Gas Rumah Kaca (GRK) ini dihasilkan dari kegiatan manusia setiap hari, maka seiring dengan semakin meningkatnya populasi manusia, maka gas rumah kaca ini pun semakin meningkat dan semakin lebar, akibatnya panas dari sinar matahari yang terperangkap di dalam bumi membuat panas dibumi semakin meningkat, peristiwa inilah yang menyebabkan pemanasan global.

Munculnya pemanasan global ini sudah diperkirakan oleh ahli lingkungan hidup jauh-jauh sebelumnya, sehingga pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia,  diadakan konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup yang membahas adanya pemanasan global.

Kemudian pada tahun 1992 diadakan konferensi Bumi di Rio de Jenairo, Brasil, yang menghasilkan kesepakatan, agar konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer harus berada pada tingkat aman. Namun dalam lima tahun berikutnya ternyata ancaman pemanasan global semakin meningkat sehingga pada 1997 di Jepang tepatnya di Kyoto, diadakan konferensi tingkat dunia yang membahas perubahan iklim yang menghasilkan Protokol Kyoto yang ditanda tangani oleh 84 negara.

Dalam konferensi tersebut sebanyak 38 negara industri berkomitmen untuk mengurangi Gas Rumah Kaca di negara masing – masing sebesar 5,2% sampai tahun 2012. Indonesia melalui UU No. 17 tahun 2004 telah meratifikasi protokol Kyoto dimaksud.

Perlu diketahui bahwa dalam “Protokol Kyoto” disebutkan, bagi Negara yang tidak sanggup mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai perjanjian yang sudah disepakati, akan membayar kompensasi kepada negara yang sanggup mengurangi emisi gas rumah kaca.

Nampaknya Negara – negara industri seperti Kanada, Amerika Serikat, Rusia dan negara Eropa agak kewalahan untuk mencapai target penurunan emisi  gas rumah kaca sesuai perjanjian. Oleh karena itu Negara-negara yang mampu menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai target, sudah mulai menyikapi ketidak mampuan negara industri tersebut, dengan mengajukan program – program yang membutuhkan dana dari Negara-negara yang tidak mampu menurunkan emisi gas rumah kaca.

Indonesia pada konvensi perubahan Iklim di Bali pada tahun 2007, memperjuangkan program REDD (Reduction of Emisions from Deforestation and forest Degradation) Program ini adalah program pengurangan emisi GRK melalui pemeliharaan dan penjagaan hutan, yang dapat mencegah perambahan dan pengrusakan hutan.

Negara yang sudah bersedia memberikan dana untuk program REDD di Indonesia adalah Norwegia dengan memberikan dana secara bertahap dengan total sebesar US$ 1 Milyar atau setara dengan 9 Trilyun rupiah, jika Bangsa Indonesia sanggup merealisasikan program REDD sebagaimana diharapkan.
Australia juga sudah mengucurkan dana sebesar 47 juta Dollar Australia untuk mengembangkan program REDD di Indonesia.

Diperkirakan bahwa kelanjutan Protokol Kyoto yang  berakhir tahun 2012 ini, akan semakin memberikan peluang bagi bangsa Indonesia yang masih memiliki hutan yang luas, untuk mendapatkan dana dari Negara-negara Industri, yang sudah jelas mengakui tidak sanggup menurunkan emisi GRK di negaranya. Tanda-tanda ini mulai kelihatan pada pertemuan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim di CANCUN Mexico tahun 2010, dan di DURBAN Afrika Selatan tahun 2011.

Untuk menunjukkan keseriusan Bangsa Indonesia mengurangi emisi GRK, maka Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 61 tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Perpres nomor 71 tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rmah Kaca.

Perdagangan Karbon (Carbon Trade)

Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar yang memungkinkan terjadinya negosiasi dan pertukaran hak emisi gas rumah kaca. Mekanisme pasar yang diatur dalam Protokol Kyoto ini dapat terjadi pada skala nasional maupun internasional sejauh hak-hak negosiasi dan pertukaran yang sama dapat dialokasikan kepada semua pelaku pasar yang terlibat

Dapat dimaklumi bahwa setiap daerah yang mempunyai banyak kandungan Oksigen (O2) yang dikenal dengan zat asam, akan terasa bahwa udara di daerah tersebut segar dan sejuk, sementara bagi daerah yang  mempunyai kandungan Carbon dioksida (CO2)  yang banyak, daerah tersebut akan terasa panas, dan manusia sulit bernapas. Kalau kita lihat, bagi setiap daerah yang udaranya segar, pada umumnya adalah di daerah yang memiliki banyak pohon atau tanaman atau hutan, sedangkan daerah yang memiliki  CO2 yang banyak adalah daerah Industri dan daerah yang memiliki banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang, seperti  di kota-kota besar.

Tentunya kita sudah mengetahui bahwa tumbuhan atau pohon, selalu melakukan proses foto sintesa, yang bertujuan agar tumbuhan itu tambah besar dan dapat berkembang biak. Proses foto sintesa tersebut membutuhkan panas sinar matahari dan zat Carbon dioksida (CO2), yang menghasilkan makanan bagi tumbuhan dan mengeluarkan Oksigen (O2) ke udara bebas. Gas O2 ini yang dibutuhkan manusia dan hewan untuk bernapas.

Kalau kita berbicara hutan yang luas, maka dapat dipahami, bahwa pohon-pohon dan tumbuhan yang sangat banyak di hutan itu,  akan membutuhkan CO2 yang sangat banyak dan tentunya menghasilkan O2 yang juga sangat banyak. CO2 yang dibutuhkan tumbuhan tersebut sebagian berasal  dari cadangan Karbon disekitarnya, dan menyerap CO2 dari daerah-daerah yang banyak memproduksi CO2 melalui angin yang berhembus.

Sebagaimana disebutkan,  bahwa penyebab utama terbentuknya lapisan GRK adalah gas CO2, sehingga bagi Negara yang banyak menghasilkan gas CO2 ini, akan menjadi Negara yang berkewajiban untuk menyediakan dana bagi Negara yang mampu menyerap gas CO2 dari udara bebas. World Meteorology Organization (WMO) dan United Nations Environtment Programme (UNEP) membentuk Inter Govermental Panel on Climate Change (IPCC) yang sudah diakui oleh Badan PBB, mempunyai tugas untuk mendeteksi perkembangan perubahan iklim di Dunia, dan mengukur serta melaporkan  dampak yang akan terjadi. IPCC juga bertugas untuk menerbitkan Metode pengukuran GRK dan emisi GRK bagi setiap daerah atau wilayah. Salah satu metoda yang sudah diterbitkan IPCC adalah IPCC –GL 2006, yaitu metode pengukuran Karbon di lapangan (di satu wilayah).

Melalui metode yang diterbitkan IPCC ini, maka di setiap wilayah akan dapat diketahui berapa besar kandungan CO2 yang dihasilkan dan juga  mengukur penyerapan CO2 dari udara bebas.
Jika semua negara sudah mengakui metode pengukuran yang diterbitkan oleh Inter Govermental Panel on Climate Change (IPCC) ini, maka akan lebih mudah untuk mencapai kesepakatan antara Negara – negara yang berkaitan dengan perdagangan Karbon (Carbon Trade).



Dapatkah Perdagangan Karbon menjadi Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Peraturan Presiden (Perpres) nomor 71 tahun 2011, tentang penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK), adalah merupakan tindak lanjut dari Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu pada pasal 63 ayat 1 butir f.

Perpres nomor 71 tahun 2011 ini, bertujuan untuk menyediakan informasi secara berkala mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan emisi dan serapan Gas Rumah Kaca, termasuk simpanan karbon di tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Berdasarkan Perpres 71 tahun 2011 tersebut, baik tingkat Nasional, Provinsi maupun Kabupaten/Kota, wajib melakukan Inventarisasi Gas Rumah Kaca di wilayahnya masing-masing.
Pada pasal 3 Perpres nomor 71 tahun 2011 ini disebutkan, “simpanan karbon (Carbon stock) dan serapan GRK harus dihitung pada semua sumber emisi dan penyerapannya”. Ketentuan ini juga berlaku bagi provinsi maupun kabupaten/kota.

Sejalan dengan diberlakukannya inventarisasi gas rumah kaca (GRK), maka stock karbon dan penyerapan karbon dapat dihitung, setiap propinsi dan kabupaten/kota atau suatu wilayah.
Sebagaimana diketahui penyerapan Carbon dioksida (CO2) yang paling banyak adalah kawasan hutan, maka bagi daerah propinsi atau kabupaten/kota yang memiliki hutan yang luas, khususnya hutan lindung, PEMDA tersebut layak mengajukan program perdangangan karbon kepada Negara-negara industri.  
Kita mengetahui bahwa melalui teknologi Citra Satelit yang difasilitasi Google earth di internet (dunia maya), semua manusia sudah dapat melihat keberadaan hutan di setiap Negara. Artinya areal atau kawasan yang masih berhutan pada setiap Negara dapat diketahui oleh setiap orang yang mengakses lewat internet. Oleh karena itu bagi setiap propinsi atau Kabupaten/Kota yang memiliki hutan yang cukup luas, dapat dengan mudah menunjukkan keberadaan hutannya dan segera mengajukan program pengelolaan kawasan hutan tersebut kepada Negara industri untuk mendapatkan dana konpensasi.

Sebagai contoh di Kalimantan Timur tepatnya di Wana Riset Semboja, seluas 100 Ha hutan telah disertifikasi untuk perdagangan Karbon dengan Negara Jerman, dari hasil perhitungan data di lapangan, diperoleh  bahwa setiap hektar hutan tersebut rata-rata memiliki jumlah karbon/penyerapan karbon sebesar 25 metrik ton. Harga satu metric ton carbon dibayar Jerman adalah US$ 5 per ton per tahun, sehingga untuk 100 Hektar tersebut, maka kompensasi dari komitmen menjaga hutan tersebut, adalah 100 ha x 25 ton x US $ 5 = US $ 12.500. Jika 1 US $ adalah Rp. 9.000, maka untuk setiap tahun diperoleh dana dari Jerman sebanyak Rp. 112.500.000,-

Negara Australia melalui Lembaga Carbon Strategig Global (CSG) menawarkan dana kompensasi kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sebesar Rp. 900 Milyar per tahun atas penyerapan CO2 dan produksi O2 dari keberadaan 865.560 Ha Hutan Lindung di Propvinsi Sumatera Barat, yang tersebar di 11 kabupaten/kota (MS Kaban – detikNews, 13/08/2009). Sekarang permasalahannya bagaimana Pemerintah Sumatera Barat membuat komitmen dengan CSG Australia tersebut agar dana yang ditawarkan dapat terealisasi.

Perdagangan karbon bukan saja bagi  Hutan Lindung, bagi kawasan hutan di luar Hutan Lindung, seperti hutan produksi dan hutan lainnya,  sepanjang PEMDA SETEMPAT dapat memberikan program yang jelas yang berkomitmen menjaga hutan dengan baik, yang tentunya didukung data inventarisasi GRK yang akurat dengan menggunakan metoda pengukuran yang sudah diakui tingkat Internasional, seperti metoda yang diterbitkan oleh IPCC, maka terbuka kemungkinan bagi Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/kota akan mendapatkan kucuran dana kompensasi menjaga hutan dari Negara industri, melalui perhitungan penyerapan CO2 dan Produksi O2, atau lebih dikenal dengan  Perdagangan karbon (Carbon Trade).

Jika perdagangan karbon antara Pemda dengan Negara Industri ini, dapat berlangsung dalam jangka waktu lama, maka perdagangan karbon tersebut dapat menjadi Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahunnya.
=====00000=====

2 komentar:

  1. Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi
    hingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun
    profit,bergabung sekarang juga dengan kami
    trading forex fbsasian.com
    -----------------
    Kelebihan Broker Forex FBS
    1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
    2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
    3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
    4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
    5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL
    Indonesia dan banyak lagi yang lainya
    Buka akun anda di fbsasian.com
    -----------------
    Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
    Tlp : 085364558922
    BBM : fbs2009

    BalasHapus