Minggu, 07 Oktober 2012

QUO VADIS PERUSAHAAN PENCEMAR DANAU TOBA



QUO VADIS PERUSAHAAN PENCEMAR DANAU TOBA, HARUSKAH DITUTUP ?
OLEH Ir. ROLAND HUTAJULU

Cukup membanggakan perhatian tokoh masyarakat, pejabat dan politikus tentang eksistensi Danau Toba saat ini, terutama berkaitan dengan pencemaran yang terjadi di danau Toba. Hanya saja sangat disayangkan bahwa pernyataan-pernyataan yang disampaikan belum mengarah kepada solusi pemecahan persoalan yang sedang terjadi. Tapi lebih cenderung hanya menyalahkan saja, baik itu kepada pemerintah, perusahaan dan masyarakat tertentu. Khusus bagi perusahaan yang dianggap sebagai  penyumbang pencemaran danau Toba,  selalu diminta untuk segera ditutup.  

Salah satu perusahaan yang dianggap penyumbang pencemaran danau Toba adalah Perusahaan Peternakan PT ALLEGRINDO NUSANTARA (PT AN), yaitu dengan membuang limbah kotoran ternak baik yang padat maupun cair secara langsung ke danau Toba, sehingga Perusahaan ini perlu segera ditutup untuk mencegah pencemaran di danau Toba.

Dari berbagai sumber termasuk dunia maya atau internet. Dari informasi yang saya temukan ternyata PT AN terletak di Kelurahan Tiga Runggu Kecamatan Purba telah membuang limbah cair ke danau Toba selama 16 tahun ini sebesar 1.200 m3 per hari dikali 365 hari dikali 16 tahun yaitu 7.008.000 m3. Dan limbah padat sebesar 60.000 kg per hari dikali 365 hari dikali 16 tahun sama dengan 350.400.000 kg.

Saya tertarik dengan permasalahan ini, mengapa sebegitu kejamnya perusahaan tersebut membuang limbah kotoran ternak langsung ke danau Toba, sementara kotoran ternak tersebut baik cair maupun padat sangat dibutuhkan oleh para petani untuk menjadi pupuk organik. Perlu diketahui, bahwa sepanjang perjalanan dari Kaban Jahe sampai ke Simarjarunjung (± 90 Km) adalah lahan pertanian dengan komoditi sayur-sayuran, kopi dan jeruk yang membutuhkan ribuan ton pupuk organik per bulan.

Tidak jauh dari lokasi PT AN, Japolin Purba pemilik warung kopi berkesempatan berbincang-bincang dengan penulis. Sebagai Ketua RT 20 Desa SAHALA Kelurahan Tiga Runggu, Kecamatan Purba. Japolin dan Jatin menjelaskan bahwa dulu perusahaan memberikan bantuan kepada masyarakat seperti rehabilitasi gereja Katolik, gereja HKBP dan gereja GKPS. Membangun MCK, sarana air bersih, rehabilitasi puskesmas, sekolah dan membangun jalan kampung, bantuan perlengkapan pertanian, membangun jaringan semua listrik sampai keperkampungan, membangun listrik genset jika PLN bermasalah, perbaikan jembatan, discount khusus untuk pembelian babi untuk pesta adat dan kemalangan, bantuan obat-obatan dan penyuluhan pertanian, rehabilitasi Kantor Camat Purba, Kantor Polsek Purba dan sekolah, bea siswa untuk siswa yang berprestasi mulai dari SD,SMP,SMA.

Tentang limbah berupa kotoran ternak baik berupa limbah padat (feses) maupun limbah cair (urine), Pak Jatin dan pak Japolin menyampaikan, “Perusahaan memang sudah melakukan pengolahan limbah dan limbah padat dijadikan kompos, kami masyarakat sebenarnya lebih suka dengan kotoran ternak yang masih mentah”, kemudian disampaikan lagi bahwa limbah cair (urine) yang sudah ditampung beberapa hari di kolam, sangat baik sebagai pupuk daun. “sebenarnya hal ini sudah sering kami sampaikan pada perusahaan” kata pak Jatin. “baru-baru ini ada PANJA di DPRD Kabupaten Simalungun, yang menghasilkan beberapa kesepakatan berupa bantuan perusahaan, namun kesepakatan tersebut tidak termasuk Desa SAHALA, akan tetapi hanya untuk masyarakat Desa Urung Panei I dan Urung Panei II,  sementara kami yang juga berdekatan dengan perusahaan tidak dilibatkan” seru pak Jatin kembali. Menyangkut apakah ada dalam kesepakatan tersebut yang berkaitan dengan pemanfaatan limbah atau kotoran ternak, Jatin menjawab bahwa dalam kesepakatan tersebut, berkaitan dengan limbah padat, adalah berupa KOMPOS yang diberikan gratis kepada masyarakat Urung Panei I, Urung Panei II dan Simpang Naga Panei sebanyak 10 truk colt diessel untuk setiap RT setiap minggu. “Berarti untuk Desa SAHALA tidak kebagian kompos dong” ujar saya kepada mereka, “makanya kami protes kepada Camat Purba, mengapa kami tidak dilibatkan” jawab pak Jatin kembali. “sebenarnya terkait dengan persoalan limbah terutama kotoran ternak, kalau PIMPINAN PERUSAHAAN mau duduk bersama dengan MASYARAKAT, tidak akan ada masalah” kata pak Jatin kembali yang juga di amini oleh pak Japolin. “dulu perusahaan banyak memperhatikan masyarakat setempat, akan tetapi setelah ada perubahan manajemen, maka kepedulian perusahaan menjadi berkurang banyak” sahut pak Japolin. Adanya pemberian kompos kepada masyarakat yang tidak merata, menjadi persoalan yang cukup serius, sehingga bagi masyarakat yang tidak kebagian kompos, mencari celah untuk menekan perusahaan, kata pak Jatin lagi.

Jika diasumsikan Peternakan tersebut akan menghasilkan limbah padat sebanyak 60.000 kg per hari. Dengan mengandaikan kotoran (feses) mentah dikumpul langsung kedalam karung, maka untuk 60.000 kg limbah tersebut diperkirakan membutuhkan 60 HOK/hari  atau sekitar Rp. 100.000.000,- per bulan. Kemudian untuk penanganan limbah cair sebesar 1.200 m3 per hari, dari proses pengolahan di kolam sampai didistribusikan ke masyarakat dengan menggunakan mobil Tanki diasumsikan membutuhkan biaya sebesar Rp. 120.000.000,- per bulan, maka total pengeluaran perusahaan untuk menangani limbah (FESES dan URINE)  adalah Rp. 220.000.000,- per bulan.

Dengan biaya tersebut, perusahaan saya perkirakan masih mendapatkan kontribusi margin yang cukup untuk setiap bulannya. Dan limbah Peternakan tersebut dapat semuanya digunakan masyarakat menjadi pupuk organik. Dengan demikian dapat dicegah pencemaran  limbah Peternakan PT AN ke danau Toba.

Jika memang masyarakat lebih membutuhkan limbah padat (feses) mentah, yang selanjutnya diolah sendiri oleh masyarakat menjadi pupuk organik, maka PT AN sebenarnya tidak perlu mengolah limbah (kotoran) ternak dengan biaya besar.

PT AN harus menata kembali pogram bantuan sosial kepada masyarakat sebagaimana pernah dilakukan sebelumnya, dengan menyisihkan sedikitnya sebesar 5% dari Laba Perusahaan. Agar program bantuan sosial tersebut menjadi tepat guna dan tepat sasaran, PT AN harus melibatkan masyarakat dan PEMDA setempat untuk ikut dalam perencanaan.

Issu yang berkembang tentang PT AN yang membuang limbah langsung ke danau Toba, lebih banyak disebabkan karena distribusi pemberian kompos yang tidak diatur sedemikian rupa, sehingga ada yang kebagian ada yang tidak, demikian juga bantuan sosial kepada masyarakat yang tidak merata.

Apabila penanganan limbah dapat diatasi dengan baik, melalui kerja sama dengan masyarakat, maka PT AN masih perlu dipertahankan, mengingat peranan PT AN kepada masyarakat setempat, khususnya berkaitan suplai ternak babi untuk acara adat (pesta), sangat diharapkan.

TULISAN INI TELAH DIMUAT DI HARIAN SINAR INDONESIA BARU TGL 5 OKTOBER 2012

Senin, 10 September 2012

HKBP MENYONGSONG PENINGKATAN PELAYANAN



HKBP MENYONGSONG ERA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN
Oleh : Ir. Roland Hutajulu

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah lembaga gereja Protestan terbesar di Asia Tenggara. HKBP dalam kapasitas sebuah lembaga gereja yang jemaatnya didominasi suku BATAK, semakin lama semakin berkembang, hal ini dilihat dari jumlah jemaat (huria) yang semakin lama semakin meningkat. Namun bila dilihat dari sudut pandang rasio antara jumlah masyarakat suku Batak dibandingkan dengan jumlah anggota jemaat HKBP, dewasa ini terjadi penurunan rasio, artinya masyarakat batak yang bukan HKBP semakin jauh meningkat. Tentu hal ini perlu menjadi perhatian bagi Majelis atau para pelayan HKBP, apakah perubahan yang cukup signifikan tersebut diakibatkan dinamika masyarakat yang secara normatif memang sudah seharusnya demikian, atau memang ada kelemahan-kelemahan mendasar yang harus diperhatikan dan perlu segera ditindaklajuti oleh HKBP melalui perubahan dan perbaikan-perbaikan pelayanan di jemaat HKBP.

Kemajuan teknologi dan informasi, dewasa ini sudah begitu cepat dan berkembang dengan pesat, sehingga kebuhutuhan rohani jemaat seperti khotbah (Firman Tuhan) dari berbagai media dapat diakses dengan mudah, terlepas sumbernya dari denominasi atau aliran (sekte) yang berbeda. Dinamika seperti ini perlu disikapi HKBP agar jangan ketinggalan metode dan teknologi. Acara kebaktian setiap minggu sudah waktunya dikemas sedemikian rupa agar singkat dan padat, terutama yang di perkotaan. Kaum remaja dan generasi muda cenderung menginginkan acara yang praktis tapi bermakna dan tidak bertele-tele, sehingga acara liturgis yang dibarengi dengan Koor yang terlalu banyak nampaknya bukan lagi pendorong atau motivasi untuk mengikuti ibadah minggu di HKBP. Untuk waktu ke depan HKBP sudah perlu memikirkan Stratifikasi Pelayanan Ibadah Minggu, dikaitkan dengan perkembangan psikologis, intelektual, dan wawasan jemaat.

KEUANGAN DAN INFORMASI

Dengan arus informasi serta teknologi media yang semakin maju, maka setiap issu baik yang positif maupun yang negatif dapat menyebar dengan cepat diantara jemaat atau masyarakat lainnya, oleh karena itu Parhalado harus dapat memanfaatkan ini sebagai peluang untuk peningkatan mutu pelayanan kepada jemaat. Umumnya arus informasi yang terjadi antara jemaat dengan pengurus gereja (parhalado) adalah melalui ting-ting atau warta jemaat, yang dapat dikatakan cukup terbatas. Khusus yang berkaitan dengan laporan keuangan jemaat  (huria) perlu adanya perbaikan. Sifat masyarakat (warga gereja) dewasa ini sudah semakin kritis dan semakin sensitif, terutama jika berkaitan dengan masalah keuangan. Sebagian besar jemaat saat ini berharap agar laporan keuangan tidak hanya menyampaikan uang yang masuk saja setiap minggunya, namun harus juga mencantumkan uang yang keluar lengkap dengan rinciannya. Untuk jemaat atau huria di perkotaan penyampaian laporan keuangan seperti ini tidak begitu sulit, karena laporan keuangan mingguan tersebut dapat disajikan lewat jaringan internet atau dengan membuka Web site atau Blogspot gereja (huria) tersebut, namun di pedesaan atau di bona pasogit nampaknya penyampaian laporan keuangan seperti ini, cukup sulit.

Pimpinan HKBP dapat mengambil langkah atau sikap tentang keterbukaan laporan keuangan ini, dengan menentukan bentuk laporan keuangan gereja untuk konsumsi umum, yang sudah mengikuti standar keuangan yang berlaku saat ini. Hal seperti ini perlu dimulai dari keterbukaan laporan keuangan ditingkat pusat (pimpinan), yang selanjutnya pada jemaat di bawahnya akan dapat mengikutinya dengan baik.

Selain informasi keuangan yang semakin terbuka, demikian juga halnya dengan informasi kegiatan atau aktivitas yang sudah diprogramkan, bahkan yang akan di programkan, seharusnya semakin terbuka melalui penyampaikan informasi yang cepat dan tepat. Dengan melibatkan anggota jemaat untuk berpartisipasi aktif dan positif dalam setiap aktivitas gereja melalui jaringan informasi yang semakin canggih (seperti minta saran dan pendapat jemaat), dapat menjadikan mutu pelayanan semakin meningkat.

BADAN PERTIMBANGAN PENDETA

Dalam tata gereja HKBP tahun 1930, kelembagaan jemaat HKBP menganut sistem Presbiterial Sinodal. Saat itu anggota jemaat diangkat menjadi pengurus gereja di bidang administrasi dan keuangan jemaat yang dikenal dengan “kasbestuur”, sedangkan pendeta, guru jemaat dan penatua mengurusi masalah kerohanian yang dikenal dengan “kerkeraad”. Nampaknya dalam era globalisasi dan era informasi sekarang ini sistim presbiterial sinodal tersebut, perlu dipertimbangkan kembali, yang tentunya melalui modifikasi yang akan disesuaikan dengan perkembangan zaman saat ini. Peran serta anggota jemaat sebagai pengambil keputusan atau setidak-tidaknya sebagai pemberi pertimbangan/rekomendasi perlu diberdayakan.

Memperhatikan keanekaragaman eksistensi jemaat (ruas) HKBP yang cukup tinggi terutama di perkotaan perlu adanya perhatian khusus pimpinan HKBP untuk membuat klasifikasi mutu pelayanan di lingkup jemaat HKBP. Artinya untuk jemaat yang tingkat ekonomi, wawasan dan intelektualnya cukup tinggi perlu penempatan pendeta yang memiliki kualitas pelayanan yang cukup handal, sehingga antara anggota jemaat, penatua dan pendeta, ada kesimbangan dan keselarasan wawasan. Kemampuan pendekatan psikologi,  komunikasi dan budaya dari setiap pendeta yang ditugaskan kepada setiap jemaat harus menjadi pertimbangan bagi pimpinan HKBP untuk menempatkan seorang pendeta ke suatu Jemaat (Huria).

Sistim episkopal yang dianut HKBP saat ini, yaitu segala keputusan termasuk penempatan pendeta yang selalu berkiblat pada kewenangan ephorus semata, sudah bukan waktunya lagi dipertahankan. Sekalipun ephorus telah melibatkan Sekjend, dan pimpinan departemen dalam penempatan pendeta, namun unsur pimpinan tersebut, nampaknya tidak mampu lagi mengakses perkembangan keberadaan jemaat (huria) secara menyeluruh, yang akan menjadi dasar pertimbangan atau tolak ukur untuk menempatkan seorang pendeta di suatu jemaat (Huria).

Untuk mengantisipasi hal ini  dalam rangka peningkatan mutu pelayanan HKBP, maka sudah waktunya HKBP memiliki THINK THANK sejenis BADAN PERTIMBANGAN PENDETA (BPP) yang merupakan badan independen yang terdiri dari Psikolog, Budayawan dan Ahli Teologia (Unsur Pendeta). Badan ini harus mempunyai kemampuan untuk mengakses setiap jemaat (huria). Kemudian badan ini juga memiliki akses untuk mengevaluasi dan melakukan penilaian pada setiap pendeta, sehingga badan ini dapat menentukan para pendeta yang tepat, yang akan ditempatkan di masing-masing jemaat (huria). Badan inilah yang memberikan rekomendasi kepada ephorus dalam hal penempatan seorang pendeta ke suatu jemaat (huria). BPP ini harus dapat berjalan secara berkesinambungan, dan tidak dipengaruhi oleh pergantian Pucuk Pimpinan HKBP (Ephorus), oleh karena itu anggota BPP ini sebaiknya dipilih oleh Rapat Sinode, sehingga independensinya dapat berjalan dengan baik.  Anggota BPP yang sudah terpilih oleh Sinode adalah merupakan BPP tingkat pusat, yang kemudian akan membentuk BPP di tingkat Distrik. Anggotanya dipilih dari Jemaat (ruas) di Distrik bersangkutan.

Saya yakin para pendeta akan selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pelayanannya melalui sistim ini. Dengan adanya sistim ini, diharapkan tidak akan ada lagi kelompok-kelompok pendeta yang muncul pada setiap periode pemilihan ephorus. Dan kata-kata yang kurang enak didengar oleh telinga seperti kata “dang hita i”, setelah terpilih ephorus, tidak ada lagi. Disamping itu jemaat (ruas) pun akan bertindak independen dan legowo untuk menerima pendeta yang ditempatkan di gerejanya, karena pelayan yang diutus kepada jemaat mereka adalah pelayan yang sudah melalui hasil kajian dan pertimbangan yang tepat, sehingga tidak ada lagi kita mendengar perpecahan anggota jemaat, hanya karena dukung dan tidak mendukung pendeta yang melayani mereka.

Harapan Rasul Paulus kepada HKBP sebagaimana tertulis dalam Efesus 4 ayat 11 – 13 yang menyatakan “ Dan Ialah (Yesus Kristus) yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” akan dapat terwujud.

SELAMAT BERSINODE, semoga Tuhan Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja memberikan damai sejahtera bagi para peserta sinode, demi kemajuan HKBP ke depan.

TULISAN INI TELAH DIMUAT DI HARIAN SINAR INDONESIA BARU Tanggal 11 September 2012

Senin, 13 Agustus 2012

Danau Toba Dalam Perspektif Pencemaran Lingkungan


DANAU TOBA DALAM PERSPEKTIF PENCEMARAN LIGKUNGAN

Oleh: Ir. Roland Hutajulu

Seorang ahli geologi dari Belanda, Van-Bemmelen, mengatakan bahwa kawasan Danau Toba dikelilingi oleh kelompok batuan hasil letusan gunung api, dan danau tersebut terjadi dari suatu bekas kaldera vulkanik yang sangat besar. Letusan abu vulkanik yang menyebabkan terbentuknya kaldera Toba tersebut, tersebar hingga wilayah Malaysia dan India, hingga jarak 3.000 km. Hal tersebut, dibuktikan dengan dijumpainya abu riolit yang sama di sekitar Danau Toba dengan yang ditemukan di wilayah Malaysia dan India. Ada juga beberapa bukti lain, yaitu berdasar pada mitochondrial DNA, bahwa ras manusia berkurang menjadi hanya beberapa ribu individu akibat letusan gunung Toba.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa eksosistim danau Toba cenderung seragam, artinya tidak ada daerah yang spesifik di kawasan danau Toba.

Sekalipun danau Toba begitu indah, namun belum mempunyai nilai jual yang berarti, baik untuk objek wisata, maupun untuk pemanfaatan sumber daya alamnya, karena tidak didukung sarana dan prasarana yang memadai, disamping itu budaya masyarakat setempat belum mendukung sebagai stimulan bagi wisatawan agar lebih tertarik berkunjung ke danau Toba. Masyarakat sekitar danau Toba juga belum memberikan ketenangan, keamanan dan kenyamanan bagi wisatawan di tempat wisata danau Toba. Para wisatawan terutama wisatawan manca negara jarang berkunjung ke danau Toba lebih dari satu kali, hal ini disebabkan daya tarik danau Toba, hanya dari keindahan alamnya saja, sehingga dengan sekali berkunjung sudah merasa cukup. Sementara pemanfaatan permukaan danau Toba saat ini, untuk usaha, baru digunakan untuk budidaya ikan tawar, seperti kerambah jaring apung (KJA), disamping untuk nelayan tradisional.

Dari data sekunder yang ada, kemudian jika dikombinasikan dengan peta penafsiran Citra Satelit, bahwa kawasan danau Toba yang meliputi luasan 3.658 km2, yang dimanfaatkan untuk objek wisata diperkirakan sekitar 15 %, dan diperkirakan sekitar 1.985 Hektar atau 1,8 %  dari luas permukaan danaunya (110.300 Ha) yang baru dimanfaatkan  untuk usaha kerambah jaring apung (KJA), baik yang berbentuk perusahaan maupun perorangan. Sementara di pinggiran Danau Toba dimanfaatkan untuk lahan Pertanian dan Peternakan.

Dewasa ini, muncul kesan dan pandangan bahwa Danau Toba sudah begitu tercemar akibat adanya usaha Kerambah Jaring Apung seperti milik Perusahaan PT Aquafarm Nusantara dan usaha peternakan seperti milik Perusahaan Allegrindo Nusantara, disamping limbah masyarakat dari rumah tangga dan limbah pertanian.

Pencemaran yang di lakukan oleh kedua perusahaan ini, saat ini dituding telah mengakibatkan keberadaan Danau Toba sudah tercemar bahkan sangat memprihatinkan (Berita SIB Tanggal 31 Juli 2012), sehingga ijin kedua Perusahaan ini perlu ditinjau kembali, bahkan disarankan untuk dicabut.

Namun yang menjadi pertanyaan, dapatkah kita mengambil kesimpulan sedemikian rupa tanpa adanya kajian teknis dan analisa yang jelas, berdasarkan kriteria dan ukuran yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara kita ini?. Selanjutnya apakah sumber penyebab dampak negatif yang dihasilkan oleh perusahaan ini, tidak dapat lagi diminimalisasi sedemikian rupa, sehingga perusahaan yang sudah investasi cukup besar dan telah memberikan kontribusi yang positip bagi Negara selama ini, harus dihentikan?.

Oleh karena itu saya ingin memberikan pandangan, terkait dengan mekanisme penuntutan tanggungjawab pengusaha terhadap kerusakan lingkungan, dan gambaran dampak lingkungan yang diakibatkan ke dua perusahaan tersebut.

Berkaitan dengan kawasan Danau Toba, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2008, Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dimana kawasan Danau Toba dan sekitarnya ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional.

Kemudian berkaitan dengan usaha pemanfaatan kawasan tersebut, agar selalu berwawasan lingkungan, maka Pemerintah bersama DPR telah menerbitkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dan sebagai tindak lanjut dari Undang-undang tersebut, Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010, yang menyatakan, bahwa setiap usaha atau kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), wajib menyusun Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan dokumen UKL dan UPL. Dokumen UKL dan UPL ini disusun oleh  Pengelola kawasan, dimana dalam dokumen tersebut diuraikan tentang apa saja dampak lingkungan yang mungkin terjadi dari usaha yang akan dilakukan, baik yang positip maupun yang negatif, dilihat dari aspek fisik-kimia, aspek biologi, aspek sosial budaya, aspek estetika dan aspek lainnya. Dalam dokumen UKL dan UPL ini juga mencantumkan bagaimana Pengelola untuk mengeliminasi atau memitigasi dampak negatif tersebut, agar tidak merusak lingkungan dan tidak mengganggu masyarakat.

Apabila UKL dan UPL ini, tidak dijalankan sebagaimana mestinya, maka Instansi terkait seperti Badan Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota maupun Propinsi akan melakukan pembinaan kepada Pengelola tersebut. Kemudian jika pengelola tidak mengindahkan pembinaan atau teguran dari instasi terkait, maka instansi tersebut dapat melaksanakan audit lingkungan terhadap kegiatan tersebut, sesuai UU no. 32 Tahun 2009 fasal 50 dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Audit Lingkungan Hidup, yaitu untuk mengevaluasi dan menilai ketaatan penanggung jawab usaha (Pengelola) terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Audit Lingkungan Hidup ini dilaksanakan oleh lembaga independen yang sudah bersertifikat.

Jika berdasarkan hasil audit lingkungan, Pengelola ternyata bersalah, maka si Pengelola akan mendapat sanksi atau hukuman berdasarkan UU no. 32 Tahun 2009 tersebut (fasal 54, 76, 98, dan 99).
Kasus pencemaran lingkungan hidup dapat juga diadukan oleh perorangan, masyarakat atau lembaga lainnya kepada yang berwajib, apabila masyarakat merasa terancam bahaya karena kegiatan atau usaha di lingkungan mereka tersebut, sudah mencemarkan lingkungan (UU no. 32 Tahun 2009 fasal 70). Prosedur pengaduannya sudah diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.
Kembali ke persoalan usaha kerambah jaring apung (KJA) PT Aquafarm Nusantara, sumber dampak dari Usaha Kerambah Jaring Apung ini adalah pemberian Pelet makanan ikan, sementara Usaha Peternakan PT Allegrindo adalah dari limbah kotoran hewan dan sisa makanan.

Berbicara mengenai pelet makanan ikan yang terbuang ke dasar danau Toba, sebenarnya tidak memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap biota danau Toba, bahkan saya berpendapat sisa makanan tersebut dapat memicu ikan dibawah kerambah tersebut mendapat makanan tambahan, yang tentunya dapat mempercepat pertumbuhan ikan-ikan diluar kerambah tersebut.

Kemudian berbicara tentang limbah kotoran ternak PT Allegrindo, yang diperkirakan besaral dari buangan Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL), yang menurut saya, bahwa air limbah yang sudah melalui proses IPAL tersebut justru dapat dimanfaatkan untuk pupuk tanaman, karena limbah tersebut banyak mengandung Ammonia seperti pupuk Urea. Hanya saja prosedur pemanfaatan limbah tersebut perlu diatur oleh PEMDA SETEMPAT, agar dapat memberdayakan masyarakat setempat untuk budidaya holtikultur sejenis sayur-sayuran.

Suatu lingkungan dikatakan sudah tercemar, adalah kalau pencemarannya, sudah melampaui daya dukung lingkungan hidup kawasan tersebut, dan dampak pencemaran tersebut harus dilihat dari lima hal yaitu; (1) sebaran dampak, (2) luasan yang terkena dampak, (3) lamanya dampak berlangsung, dan (4) jumlah manusia yang terkena dampak, serta (5) berbalik tidaknya dampak tersebut. Keberadaan KJA, jika dibandingkan dengan luas kawasan danau Toba yang begitu luas, dapat dikatakan belum merusak ekosistem danau Toba, dan lamanya dampak yang diperkirakan akibat pemberian makanan ikan yaitu pelet, hanya berlangsung sementara saja, selanjutnya terkait jumlah masyarakat yang terkena dampak, justru banyak masyarakat yang mendapatkan dampak positip. Sementara limbah dari Peternakan, sebenarnya tidak perlu dibuang sampai ke danau Toba, jika ingin dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Maka untuk itu program ini, perlu dimasukkan dalam dokumen UKL danm UPL perusahaan tersebut.

Munculnya persoalan atau polemik, yang berusaha mengaitkan pencemaran lingkungan akibatkan perusahaan tersebut, adalah disebabkan keberadaan lokasi perusahaan ini, dekat dengan lokasi wisata yang memang membutuhkan nilai estetika yang tinggi. Persoalan ini sebenarnya dapat terselesaikan apabila Tata Ruang Kabupaten di sekitar kawasan danau Toba sudah ditetapkan sedemikian rupa dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2008, dan Tata ruang Propinsi Sumatera Utara, dengan demikian tidak ada lagi conflict interest.

Saat ini, saya justru banyak berharap kepada DPRD Kabupaten dan DPRD Propinsi bersama-sama dengan PEMDA setempat, agar segera membuat peraturan daerah berkaitan dengan pengelolaan danau Toba, yang dapat menjadi acuan yang jelas bagi investor untuk memanfaatkan kawasan danau Toba ini, sehingga investor sudah dapat berusaha dengan nyaman, tanpa ada gangguan yang berarti.

Tulisan ini, telah dimuat di Harian Sinar Indonesia Baru , Hari Sabtu Tanggal 4 Agustus 2012

Senin, 02 Juli 2012

Mengharap Orang Batak Jadi Pemimpin SUMUT


MENGHARAP ORANG BATAK JADI PEMIMPIN SUMUT 2013-2018
Oleh: Ir. Roland Hutajulu

Ada kebanggaan tersendiri bagi saya sebagai orang Batak, setelah melihat dan memperhatikan banyaknya orang Batak yang mencalonkan diri untuk menjadi Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018, setidak-tidaknya ada 11 orang Batak yang mencalonkan diri menjadi Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 yang saya ketahui melalui media massa, yaitu, 1) Amri Tambunan, 2) Azmyn Yusri Nasution, 3) Benny Pasaribu, 4) Bintatar Hutabarat, 5) Cornel Simbolon, 6) Chairuman Harahap, 7) Darmayanti Lubis, 8) Gus Irawan Pasaribu, 9) R E Nainggolan, 10) Sutan Bhatugana Siregar, dan 11) Syarul Siregar. Dalam hal ini saya tidak membedakan apakah orang itu Batak Toba, Simalungun, Mandailing, Karo atau Sub etnis Batak lainnya. Saya hanya melihat bahwa etnis Batak memang sudah waktunya diberi kesempatan untuk memimpin Sumatera Utara, yang dapat memberikan contoh pemimpin  Sumatera Utara yang sesungguhnya, karena orang Batak memiliki falsafah Pemimpin yang handal yaitu “ silehon parhorason, silehon pasu-pasuan, pamuro so mattat sior, parmahan somattat batahi, sitiop patik sijujur ni ninggor, sitiop uhum sitingkos ni ari, na maniop gurat panorusi, raja ni ihot ni uhum, namora ni ihot ni hosa, sihorus naguk-guk, si gohi na longa, parjaga-jaga di bibir, par pustaha ditolonanna”. Dengan menerapkan falsafah ini Propinsi Sumatera Utara akan dapat menjadi Propinsi yang penuh berkat, penuh kedamaian dan bebas dari KKN, melalui Pemimpin yang punya komitmen, yang menjung-jung tinggi nilai keadilan dan kebenaran,  yang penuh hikmat, serta konsisten antara ucapan dengan perbuatan.

Dari 11 orang Batak tersebut, saya pandang memiliki kompetensi dan integritas yang cukup bagus, dengan memperhatikan latar belakang karier mereka yang cukup kompantibel menjadi pemimpin daerah setaraf Gubernur, sehingga dengan menerapkan falsafah pemimpin sebagaimana saya sebutkan di atas, maka menurut saya 11 orang tersebut, cukup mampu untuk memimpin Propinsi Sumatera Utara dengan baik.
Bukan menjadi rahasia umum, bahwa setiap calon yang akan tampil dalam pertarungan memperebutkan orang nomor satu di Pemerintahan, pasti mengeluarkan dana yang cukup besar mulai dari proses pencalonan sampai masa kampanye nantinya, bahkan  besarannya dapat mencapai diluar logika pikiran orang awam, sehingga patut dan layak diduga, bahwa untuk mengembalikan dana atau biaya tersebut, nantinya yang bersangkutan akan mencarikan dari berbagai sumber ketika yang bersangkutan sudah jadi Kepala Pemerintahan, yang cenderung dengan cara yang kurang terpuji.

Hal ini tentunya perlu dihindari, agar jangan ada kesan, bahwa orang Batak itu termasuk orang “sipanggaron” dalam artian, orang memaksakan diri diluar kemampuan normatifnya, baik finansial maupun intelektualnya, oleh karena itu, yang bersangkutan untuk menutupi kekurangannya, meminta bantuan dari orang lain, atau pengusaha atau organisasi tertentu agar dana atau biaya yang dibutuhkan selama proses pencalonan sampai Pilkada menjadi terpenuhi.

Patut dan layak diduga, jika cara seperti ini yang terjadi, maka pada saat yang bersangkutan menjadi pemenang Pilkada atau Gubernur, maka visi dan misi serta janji yang dikobarkan atau didengungkan pada saat sosialisasi dengan masyarakat, kemungkinan besar tidak akan jalan.
Mengapa saya berani mengatakan demikian, karena pengaruh penyandang dana tersebut, baik itu pribadi, organisasi atau pengusaha atau yang lainnya, pasti akan melakukan intervensi untuk kepentingan mereka, ketika yang bersangkutan sudah duduk menjadi Gubernur.

Tidak sedikit contoh yang sudah terjadi seperti ini di Tanah Air kita ini. Mungkin saja secara pribadi, Gubernur terpilih masih memegang komitmen dan konsisten terhadap apa yang disampaikan pada saat kampanye sebelumnya, hanya saja kita meragukan, pada saat yang bersangkutan hendak mengimplementasikan janji-janjinya tersebut, intervensi dari berbagai pihak sebagaimana saya sebutkan tadi, dapat merubah sebagian besar arah dan kebijakan yang sudah ditetapkan sebelumnya, bahkan ada yang sampai bertentangan.

Oleh karena itu, saya berpikir, apakah memungkinkan kita masyarakat Batak, sepakat untuk   mengajukan satu orang saja dari orang Batak menjadi calon Gubernur Sumut Periode 2013-2018, yang tentunya sudah melalui seleksi sedemikian rupa, sehingga pada saat Pilkada, diharapkan sudah mendapat dukungan penuh dari masyarakat Batak.

Berdasarkan pengamatan pada Pilkada Propinsi maupun Pilkada Kabupaten/Kota sebelumnya, karakteristik orang Batak jikalau sudah melihat identitas calon, maka muncul sifat ismenya, seperti Famili-isme, Marga-isme, Sub Etnis-isme, dan isme-isme lainnya. Hal ini dapat membuat orang Batak tidak lagi berpikir rasional untuk menentukan pilihannya, dan akan lebih parah lagi kalau sudah dipengaruhi politik uang.

Ada lagi kekhawatiran saya, kalau calon Gubernur dari orang Batak nantinya betul-betul cukup banyak “katakanlah 5 sampai 7 orang”, maka hal ini berpeluang menciptakan keretakan atau perpecahan diantara kita orang Batak,  baik yang sementara maupun yang permanen. Contoh perpecahan seperti ini, sudah pernah terjadi di lingkungan orang Batak belasan tahun yang lalu, yang pengaruhnya sampai saat ini masih terasa, dimana pada saat itu ada peristiwa dukung-mendukung terhadap orang yang berbeda, maka ada satu keluarga yang anggota keluarganya mendukung orang yang berbeda, menjadi tidak teguran dalam jangka waktu yang lama, demikian juga dalam satu marga atau satu kelompok masyarakat mendukung orang yang berbeda, juga terjadi pertikaian yang permanen.

Saya punya keyakinan, bahwasanya kita masyarakat Batak, sebenarnya punya kemampuan membentuk Forum Musyawarah Masyarakat Batak untuk mengambil satu kesepakatan bersama dalam rangka menentukan siapa satu orang calon Gubernur yang akan maju dalam bursa Pilkada Gubernur Sumut periode 2013-2018 nantinya. Atau setidak-tidaknya saya mengusulkan dari 12 orang yang mencalonkan diri menjadi Gubernur tersebut, dapat duduk bersama untuk membentuk Forum Musyawarah seperti yang saya sebutkan di atas.

Forum inilah yang akan mengatur bagaimana proses atau penyaringan untuk memilih atau menetapkan satu calon Gubernur dari orang Batak yang sudah melibatkan masyarakat Batak secara objektif, yang akan didukung dalam Pilkada Gubernur Sumut nantinya.

Proses ini saya harap akan dapat berjalan elegan, dengan menghidari money-politic (politik uang) untuk mendidik masyarakat Batak agar tidak menjadi berbudaya materialis, karena  saya yakin tokoh masyarakat Batak yang mencalonkan diri menjadi Gubernur, motivasinya adalah untuk membangun Sumatera Utara dengan baik, bukan untuk mencari kehormatan (hasangapon) semata. Dengan demikian Sumatera Utara akan dapat menjadi contoh yang baik bagi Propinsi lain, karena dapat menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif, dan yang memberdayakan setiap komponen di lingkup Sumatera Urata secara sinergi, untuk bersama-sama  membangun Sumatera Utara ke arah yang lebih baik. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati kita semua dan melindungi Sumatera Utara dari saat ini sampai selamanya.

Opini ini sudah dimuat di Koran Sinar Indonesia Baru (SIB) tanggal 27 Juni 2012