Senin, 13 Agustus 2012

Danau Toba Dalam Perspektif Pencemaran Lingkungan


DANAU TOBA DALAM PERSPEKTIF PENCEMARAN LIGKUNGAN

Oleh: Ir. Roland Hutajulu

Seorang ahli geologi dari Belanda, Van-Bemmelen, mengatakan bahwa kawasan Danau Toba dikelilingi oleh kelompok batuan hasil letusan gunung api, dan danau tersebut terjadi dari suatu bekas kaldera vulkanik yang sangat besar. Letusan abu vulkanik yang menyebabkan terbentuknya kaldera Toba tersebut, tersebar hingga wilayah Malaysia dan India, hingga jarak 3.000 km. Hal tersebut, dibuktikan dengan dijumpainya abu riolit yang sama di sekitar Danau Toba dengan yang ditemukan di wilayah Malaysia dan India. Ada juga beberapa bukti lain, yaitu berdasar pada mitochondrial DNA, bahwa ras manusia berkurang menjadi hanya beberapa ribu individu akibat letusan gunung Toba.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa eksosistim danau Toba cenderung seragam, artinya tidak ada daerah yang spesifik di kawasan danau Toba.

Sekalipun danau Toba begitu indah, namun belum mempunyai nilai jual yang berarti, baik untuk objek wisata, maupun untuk pemanfaatan sumber daya alamnya, karena tidak didukung sarana dan prasarana yang memadai, disamping itu budaya masyarakat setempat belum mendukung sebagai stimulan bagi wisatawan agar lebih tertarik berkunjung ke danau Toba. Masyarakat sekitar danau Toba juga belum memberikan ketenangan, keamanan dan kenyamanan bagi wisatawan di tempat wisata danau Toba. Para wisatawan terutama wisatawan manca negara jarang berkunjung ke danau Toba lebih dari satu kali, hal ini disebabkan daya tarik danau Toba, hanya dari keindahan alamnya saja, sehingga dengan sekali berkunjung sudah merasa cukup. Sementara pemanfaatan permukaan danau Toba saat ini, untuk usaha, baru digunakan untuk budidaya ikan tawar, seperti kerambah jaring apung (KJA), disamping untuk nelayan tradisional.

Dari data sekunder yang ada, kemudian jika dikombinasikan dengan peta penafsiran Citra Satelit, bahwa kawasan danau Toba yang meliputi luasan 3.658 km2, yang dimanfaatkan untuk objek wisata diperkirakan sekitar 15 %, dan diperkirakan sekitar 1.985 Hektar atau 1,8 %  dari luas permukaan danaunya (110.300 Ha) yang baru dimanfaatkan  untuk usaha kerambah jaring apung (KJA), baik yang berbentuk perusahaan maupun perorangan. Sementara di pinggiran Danau Toba dimanfaatkan untuk lahan Pertanian dan Peternakan.

Dewasa ini, muncul kesan dan pandangan bahwa Danau Toba sudah begitu tercemar akibat adanya usaha Kerambah Jaring Apung seperti milik Perusahaan PT Aquafarm Nusantara dan usaha peternakan seperti milik Perusahaan Allegrindo Nusantara, disamping limbah masyarakat dari rumah tangga dan limbah pertanian.

Pencemaran yang di lakukan oleh kedua perusahaan ini, saat ini dituding telah mengakibatkan keberadaan Danau Toba sudah tercemar bahkan sangat memprihatinkan (Berita SIB Tanggal 31 Juli 2012), sehingga ijin kedua Perusahaan ini perlu ditinjau kembali, bahkan disarankan untuk dicabut.

Namun yang menjadi pertanyaan, dapatkah kita mengambil kesimpulan sedemikian rupa tanpa adanya kajian teknis dan analisa yang jelas, berdasarkan kriteria dan ukuran yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara kita ini?. Selanjutnya apakah sumber penyebab dampak negatif yang dihasilkan oleh perusahaan ini, tidak dapat lagi diminimalisasi sedemikian rupa, sehingga perusahaan yang sudah investasi cukup besar dan telah memberikan kontribusi yang positip bagi Negara selama ini, harus dihentikan?.

Oleh karena itu saya ingin memberikan pandangan, terkait dengan mekanisme penuntutan tanggungjawab pengusaha terhadap kerusakan lingkungan, dan gambaran dampak lingkungan yang diakibatkan ke dua perusahaan tersebut.

Berkaitan dengan kawasan Danau Toba, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2008, Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dimana kawasan Danau Toba dan sekitarnya ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional.

Kemudian berkaitan dengan usaha pemanfaatan kawasan tersebut, agar selalu berwawasan lingkungan, maka Pemerintah bersama DPR telah menerbitkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dan sebagai tindak lanjut dari Undang-undang tersebut, Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010, yang menyatakan, bahwa setiap usaha atau kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), wajib menyusun Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan dokumen UKL dan UPL. Dokumen UKL dan UPL ini disusun oleh  Pengelola kawasan, dimana dalam dokumen tersebut diuraikan tentang apa saja dampak lingkungan yang mungkin terjadi dari usaha yang akan dilakukan, baik yang positip maupun yang negatif, dilihat dari aspek fisik-kimia, aspek biologi, aspek sosial budaya, aspek estetika dan aspek lainnya. Dalam dokumen UKL dan UPL ini juga mencantumkan bagaimana Pengelola untuk mengeliminasi atau memitigasi dampak negatif tersebut, agar tidak merusak lingkungan dan tidak mengganggu masyarakat.

Apabila UKL dan UPL ini, tidak dijalankan sebagaimana mestinya, maka Instansi terkait seperti Badan Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota maupun Propinsi akan melakukan pembinaan kepada Pengelola tersebut. Kemudian jika pengelola tidak mengindahkan pembinaan atau teguran dari instasi terkait, maka instansi tersebut dapat melaksanakan audit lingkungan terhadap kegiatan tersebut, sesuai UU no. 32 Tahun 2009 fasal 50 dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Audit Lingkungan Hidup, yaitu untuk mengevaluasi dan menilai ketaatan penanggung jawab usaha (Pengelola) terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Audit Lingkungan Hidup ini dilaksanakan oleh lembaga independen yang sudah bersertifikat.

Jika berdasarkan hasil audit lingkungan, Pengelola ternyata bersalah, maka si Pengelola akan mendapat sanksi atau hukuman berdasarkan UU no. 32 Tahun 2009 tersebut (fasal 54, 76, 98, dan 99).
Kasus pencemaran lingkungan hidup dapat juga diadukan oleh perorangan, masyarakat atau lembaga lainnya kepada yang berwajib, apabila masyarakat merasa terancam bahaya karena kegiatan atau usaha di lingkungan mereka tersebut, sudah mencemarkan lingkungan (UU no. 32 Tahun 2009 fasal 70). Prosedur pengaduannya sudah diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.
Kembali ke persoalan usaha kerambah jaring apung (KJA) PT Aquafarm Nusantara, sumber dampak dari Usaha Kerambah Jaring Apung ini adalah pemberian Pelet makanan ikan, sementara Usaha Peternakan PT Allegrindo adalah dari limbah kotoran hewan dan sisa makanan.

Berbicara mengenai pelet makanan ikan yang terbuang ke dasar danau Toba, sebenarnya tidak memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap biota danau Toba, bahkan saya berpendapat sisa makanan tersebut dapat memicu ikan dibawah kerambah tersebut mendapat makanan tambahan, yang tentunya dapat mempercepat pertumbuhan ikan-ikan diluar kerambah tersebut.

Kemudian berbicara tentang limbah kotoran ternak PT Allegrindo, yang diperkirakan besaral dari buangan Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL), yang menurut saya, bahwa air limbah yang sudah melalui proses IPAL tersebut justru dapat dimanfaatkan untuk pupuk tanaman, karena limbah tersebut banyak mengandung Ammonia seperti pupuk Urea. Hanya saja prosedur pemanfaatan limbah tersebut perlu diatur oleh PEMDA SETEMPAT, agar dapat memberdayakan masyarakat setempat untuk budidaya holtikultur sejenis sayur-sayuran.

Suatu lingkungan dikatakan sudah tercemar, adalah kalau pencemarannya, sudah melampaui daya dukung lingkungan hidup kawasan tersebut, dan dampak pencemaran tersebut harus dilihat dari lima hal yaitu; (1) sebaran dampak, (2) luasan yang terkena dampak, (3) lamanya dampak berlangsung, dan (4) jumlah manusia yang terkena dampak, serta (5) berbalik tidaknya dampak tersebut. Keberadaan KJA, jika dibandingkan dengan luas kawasan danau Toba yang begitu luas, dapat dikatakan belum merusak ekosistem danau Toba, dan lamanya dampak yang diperkirakan akibat pemberian makanan ikan yaitu pelet, hanya berlangsung sementara saja, selanjutnya terkait jumlah masyarakat yang terkena dampak, justru banyak masyarakat yang mendapatkan dampak positip. Sementara limbah dari Peternakan, sebenarnya tidak perlu dibuang sampai ke danau Toba, jika ingin dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Maka untuk itu program ini, perlu dimasukkan dalam dokumen UKL danm UPL perusahaan tersebut.

Munculnya persoalan atau polemik, yang berusaha mengaitkan pencemaran lingkungan akibatkan perusahaan tersebut, adalah disebabkan keberadaan lokasi perusahaan ini, dekat dengan lokasi wisata yang memang membutuhkan nilai estetika yang tinggi. Persoalan ini sebenarnya dapat terselesaikan apabila Tata Ruang Kabupaten di sekitar kawasan danau Toba sudah ditetapkan sedemikian rupa dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2008, dan Tata ruang Propinsi Sumatera Utara, dengan demikian tidak ada lagi conflict interest.

Saat ini, saya justru banyak berharap kepada DPRD Kabupaten dan DPRD Propinsi bersama-sama dengan PEMDA setempat, agar segera membuat peraturan daerah berkaitan dengan pengelolaan danau Toba, yang dapat menjadi acuan yang jelas bagi investor untuk memanfaatkan kawasan danau Toba ini, sehingga investor sudah dapat berusaha dengan nyaman, tanpa ada gangguan yang berarti.

Tulisan ini, telah dimuat di Harian Sinar Indonesia Baru , Hari Sabtu Tanggal 4 Agustus 2012