ADA APA DIBALIK KEPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI
NOMOR 2642.K/Pid/2006 YANG DIBIARKAN BERLALU
Oleh : Ir. Roland Hutajulu
Bangsa Indonesia sejak reformasi, sangat berharap penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya, sehingga semua masyarakat menyambut dengan penuh suka cita dan penuh harap, ketika mundurnya Suharto sebagai Presiden yang berkuasa selama 32 tahun. Namun setelah 14 tahun reformasi berjalan, ternyata bukan harapan yang jadi kenyataan, akan tetapi kekecewaan yang datang, karena penegak hukum di Negara tercinta ini ternyata belum dapat berbuat sebagaimana diharapkan bangsa ini.
Salah satu contoh yang membuat hati ini prihatin dan kecewa, adalah terhadap pelaksanaan keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 2642.K/Pid/2006 tanggal 12 Pebruari 2007 yang memutuskan DL Sitorus dkk, terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana : MENGERJAKAN DAN MENGGUNAKAN KAWASAN HUTAN SECARA TIDAK SAH DAN DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DAN DALAM BENTUK SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT. Dalam keputusan tersebut barang bukti berupa :
1. Perkebunan Kelapa Sawit di kawasan hutan Padang Lawas seluas ± 23.000 Ha yang dikuasai oleh Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan dan PT. Torganda beserta seluruh bangunan yang ada di atasnya
2. Perkebunan Kelapa Sawit di kawasan hutan Padang Lawas seluas ± 24.000 Ha yang dikuasai oleh Koperasi Parsadaan Masyarakat Ujung Batu (PARSUB) dan PT. Torus Ganda beserta seluruh bangunan yang ada di atasnya, dirampas untuk Negara dalam hal ini Departemen Kehutanan.
Perlu diketahui bahwa proses hukum sampai terlaksana putusan Mahkamah Agung tersebut sudah memakan waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang cukup besar. Sejak tahun 1998 baik oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, dan Pemerintah Daerah Propvinsi Sumatera Utara, maupun Departemen Kehutanan, termasuk PT. Inhutani IV (Persero) selalu berupaya agar perambahan yang dilakukan DL Sitorus dan kawan-kawan, segera dihentikan, dan upaya ini dilakukan berjalan terus, seiring dengan berjalannya waktu, dan setiap instansi sebagaimana dimaksud diatas selalu berupaya agar perambahan hutan yang mengakibatkan kerugian Negara sampai ratusan milyar rupiah dihentikan dan pelakunya diproses sesuai ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku di Negara ini.
Kawasan hutan yang dirambah oleh DL Sitorus dan kawan-kawan, adalah kawasan Register 40, yang ditetapkan sejak Pemerintahan penjajahan Belanda, artinya sejak dulu kawasan tersebut sudah di plot atau dialokasikan menjadi kawasan hutan, karena pada waktu itu Pemerintah Penjajahan Belanda mengacu kepada berbagai pertimbangan antara lain ; tipologi kawasan tersebut relatif mencerminkan kondisi hutan di Sumatera Bagian Utara, dan keaneka ragaman jenis tumbuhan dan satwa yang tumbuh dikawasan hutan tersebut dapat mewakili kawasan hutan yang ada di Sumatera bagian Utara.
PT. Inhutani IV yang dulu mengelola sebagian kawasan tersebut (95.000 Ha), banyak bekerja sama dengan pihak lain seperti Badan Penelitian Kehutan Aek Nauli (Departemen Kehutanan), Fakultas Kehutanan IPB Bogor, untuk melakukan penelitian dan pengembangan, adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah: penelitian mikro organisma, keaneka ragaman tumbuhan dan hewan serta penelitian teknik eksploitasi (TPTI, TPTJ, TJTI dan HTI), yang tentunya nilainya tidak hanya diukur dengan uang, tetapi juga bernilai untuk kepentingan Pendidikan, Kesehatan dan Lingkungan. Dengan demikian kerugian Negara sebenarnya tidak hanya diukur dari kayu yang ditebang oleh DL Sitorus dkk saja, akan tetapi juga kerugian rusaknya lingkungan sebagai sumber genetic dan plasma nutfah, dan juga kekayaan mikro organisma yang hilang yang belum sempat diteliti terkait dengan jenis dan manfaatnya
Pada awal Tahun 2007 tepatnya pada tanggal 12 Pebruari 2007, Mahkamah Agung telah mengambil keputusan Inkrah (tetap) setelah Majelis Hakim dari tingkat pertama, dengan Majelis Hakim tingkat tinggi membuat keputusan yang berbeda.
Sebagai tindak lanjut keputusan tetap dari Mahkamah Agung tersebut, maka aparat pemerintah diperintahkan untuk melaksanakan eksekusi lapangan, namun sampai bulan Nopember 2011, artinya hampir lima (5) tahun setelah keputusan Mahkamah Agung tersebut, ternyata eksekusi belum juga dilaksanakan.
Perlu dipertanyakan mengapa sampai sekian lama, eksekusi belum dilaksanakan, ada apa dibalik semua ini, dimana wibawa hukum di Negeri ini, kenapa ada pembiaran yang seharusnya ada uang masuk ke Negara, yang dapat digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Setahu kita, pada umumnya pihak Kejaksaan yang bekerja sama dengan Kepolisian selalu melaksanakan sesegera mungkin eksekusi hasil keputusan Pengadilan dan Mahkamah Agung, kalau sudah berkaitan dengan asset Negara, namun untuk melaksanakan di lokasi register 40 (Kawasan hutan yang dirambah oleh DL Sitorus dkk.) nampaknya pihak Kejaksaan dan Aparat Kepolisian belum ada niat untuk melakukan eksekusi lebih serius dan tegas, sehingga sampai sekarang DL Sitorus dkk, masih berkuasa di kawasan tersebut (bayangkan 5 tahun pendapatan Negara sekitar ratusan miliyar rupiah, mungkin mendekati Triliyunan rupiah, hilang begitu saja).
Semua Instansi Terkait Masih Saling Mencari Dasar Hukum
Setelah keluar keputusan Mahkamah Agung nomor 2642 K/PID/2006, maka semua instansi yang berkaitan dengan asset yang dirampas oleh Negara, sesuai keputusan MA tersebut, saling menunjukkan keinginan masing-masing seolah-olah serius melakukan fungsi dan tugasnya, dengan membuat peraturan dan ketentuan masing-masing instansi. Dalam kenyataannya peraturan dan ketentuan tersebut bukan untuk mempercepat terlaksananya eksekusi, malahan membuat beberapa instansi menjadi bingung dan sulit mengerti.
Ada baiknya kita melihat sekilas pandang apa yang sudah dilakukan masing-masing instansi yang berkaitan dengan tindak lanjut keputusan MA RI tersebut:
Kejaksaan
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara telah melakukan eksekusi di kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Medan) dan menyerahkan barang rampasan kepada Pemerintah cq. Kementerian Kehutanan, sesuai Berita Acara nomor 22, tanggal 26 Agustus 2009
Kementerian Kehutanan
Kementerian Kehutanan, setelah menerima hasil keputusan Mahkamah Agung nomor 2642 K/PID/2006, dimana dalam putusan tersebut menyampaikan :
Perkebunan Kelapa Sawit di kawasan hutan Padang Lawas seluas -/+ 23.000 Ha yang dikuasai oleh Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan dan PT. Torganda beserta seluruh bangunan yang ada di atasnya dan Perkebunan Kelapa Sawit di kawasan hutan Padang Lawas seluas -/+ 24.000 Ha yang dikuasai oleh Koperasi Parsadaan Masyarakat Ujung Batu (PARSUB) dan PT. Torus Ganda beserta seluruh bangunan yang ada di atasnya, dirampas untuk Negara dalam hal ini Departemen Kehutanan, maka Departemen Kehutanan (Kementerian Kehutanan) telah melakukan tindak lanjut sebagai berikut :
1. (1) Menunjuk Badan Pengelola Sementara Eks Aset Terpidana DL Sitorus di Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas, yang terdiri dari Badan Pengawas dan badan Pelaksana Pengelolaan yaitu PT Inhutani IV (Persero).
2. (2) Mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Dalam Kawasan Hutan Eks Perkebunan KPKS Bukit Harapan dan PT. Torganda serta Koperasi PARSUB dan PT Torus Ganda di Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas seluas 47.000 Ha Propinsi Sumatera Utara.
3. (3) Menyampaikan surat Somasi I s/d III kepada Direksi/Pimpinan PT. Torganda/KPKS Bukit Harapan, dan Direksi/Pimpinan PT. Torus Ganda/Koperasi PARSUB.
Kementerian Keuangan
Kementerian keuangan yang selalu berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tanggal 4 September 2007, menyebabkan tindak lanjut keputusan MA RI ini jadi tersendat-sendat.
PT. Inhutani IV (Persero)
PT. Inhutani IV (Persero) selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ketika menerima tugas dari Pemerintah sebagai Badan Pengelola Sementara sampai ditunjuknya Badan Pengelola Defenitif oleh Pemerintah, sudah melakukan persiapan, baik dari aspek administrasi maupun dan aspek Organisasi.
Kementerian Kehutanan dalam menunjuk PT. Inhutani IV (Persero) sebagai badan Pengelola Sementara, memiliki alasan yang kuat, karena :
- Kawasan hutan Register 40 yang dirambah oleh DL Sitorus dkk, adalah eks areal HPH PT. Inhutani IV (Persero)
- PT. Inhutani IV (Persero) selaku pemegang ijin HPH, selalu aktif dan berperan serta dalam setiap proses hukum yang berjalan sampai terbitnya keputusan Mahkamah Agung RI.
- PT. Inhutani IV (Persero) lebih mengenal kondisi lapangan, baik fisik maupun sosial budaya masyarakat setempat
- PT. Inhutani IV (Persero) sebagai Badan Usaha yang dilibatkan Pemerintah dalam Program Indonesia Hijau 2025, sangat tepat melakukan misi rehabilitasi paskah kebun sawit di Register 40.
Jika eksekusi lapangan belum juga dilaksanakan oleh Kejaksaan, maka PT. Inhutani IV (Persero) tidak akan dapat melakukan tugasnya untuk mengelola asset Negara tersebut.
Masih adakah Harapan
Kalau kita berbicara dari sudut ranah hukum, dapat dikatakan sebenarnya tidak ada masalah lagi bagi Aparat dalam pengambil alihan (Eksekusi) Perkebunan Kelapa Sawit yang di bangun oleh DL. Sitorus dkk, pada kawasan Hutan (Register 40). Kawasan ini sudah dikukuhkan sejak jaman Penjajahan Belanda, akan tetapi karena ada kekuatan lain yang diperkirakan dapat melampaui kekuatan aparat (Kejaksaan), maka sampai saat ini eksekusi belum juga terlaksana.
Pemerintah ternyata tidak dapat tegas menjalankan aturan dan peraturan jika berhadapan dengan orang atau oknum yang berduit, sehingga proses penyelesaian hukum selama ini dibuat berkepanjangan dan bertele-tele yang secara tidak langsung memberikan kesempatan bagi terpidana untuk meraup keuntungan. Kalau demikian hal nya, maka yang tetap menjadi korban adalah masyarakat, karena penerimaan Negara yang seharusnya untuk menopang pembangunan, ternyata tidak kunjung ada.
Jika memang hukum tidak bisa dijalankan lagi secara murni dan konsekwen, maka mungkin usul ini dapat menjadi solusi yaitu; dari pada penerimaan Negara tidak kunjung ada, maka untuk mendapatkan penyelesaian pengelolaan kawasan ini, perlu dilakukan kebijaksanaan dengan melibatkan DL. Sitorus dkk, ikut serta melaksanakan pengelolaan kebun dimaksud dengan tetap menjalankan komitmen untuk mengembalikan kawasan Register 40 ini, menjadi hutan kembali.
Kebijakan seperti ini, memang belum pernah ada dalam ketentuan dan peraturan hukum yang berlaku saat ini, namun perlu diperhitungkan dan dipertimbangkan, bahwa demi kepentingan masyarakat luas dan keselamatan lingkungan secara global, mungkin kebijakan ini dapat menjadi salah satu alternative solusi yang baik.
----0000----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar