MENUJU PENGELOLAAN HUTAN LESTARI
MELALUI PROFESIONALISME RIMBAWAN
Oleh, Ir. Roland Hutajulu
I. PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini dalam kehidupan kita sehari-hari, yang sering kita dengar dan kita lihat di media massa yang berkaitan dengan masalah kehutanan, adalah illegal loging dan masalah pengelolaan hutan lestari. Sebagai Rimbawan jika mendengar dan melihat berita tersebut masing-masing mempunyai komentar yang beraneka ragam, ada yang apatis atau apriori, ada yang tertawa sendiri, ada yang berpendapat “oh itu hanya berita yang sudah berulang-ulang yang tidak pernah ada penyelesaiannya”, dan yang paling ekstrim lagi yang berpendapat bahwa itu berita di angkat hanya untuk kepentingan politik saja.
Hampir tidak ada komentar yang mengarah kepada optimisme, bahwa illegal logging dapat diberantas dan pengelolaan hutan lestari dapat terwujud, karena para Rimbawan merasa tidak punya harapan lagi, tentang keberadaan hutan di Indonesia dapat bertahan.
Jika pola pikir seperti ini sudah merambah ke hampir semua para Rimbawan, maka pertanyaan yang muncul saat ini adalah “ apakah masih ada kesempatan atau jalan menuju ke pengelolaan hutan lestari?”. Jawabannya mungkin bermacam-macam juga. Mungkin ada yang menjawab, “itu tidak mungkin ada lagi”, jawaban yang lain mengatakan “oh, itu bisa-bisa aja dibuat-buat ”.. Dan ada juga kemungkinan yang menjawab, kesempatan dan jalan selalu ada tetapi dengan beberapa syarat.
Sebagai Rimbawan, saya akan mencoba menjawab pertanyaan ini, dengan memberikan komentar terlebih dahulu tentang apa dan bagaimana yang terjadi di dalam khasanah hutan dan kehutanan Indonesia. Dan sesuai dengan sudut pandang saya, akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
II. PENGELOLAAN HUTAN LESTARI
Menurut teori, yang dimaksud dengan pengelolaan hutan adalah sebuah praktek penerapan prinsip-prinsip dalam bidang biologi, fisika, kimia, analisis kuantitatif, manajemen, ekonomi, sosial dan analisis kebijakan dalam rangkaian kegiatan membangun atau meregenerasikan, membina, memanfaatkan dan mengkonservasikan hutan untuk mendapatkan tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan (Helms, 1998. dalam Suhendang, E. 2002).
Sedangkan menurut Manan, S. 1995. Pengelolaan hutan atau manajemen hutan adalah penerapan metoda bisnis dan prinsip-prinsip teknis kehutanan dalam pengurusan suatu hutan.
Pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management) adalah bentuk pengelolaan hutan yang memiliki sifat hasil yang lestari (sustained yield) yang ditunjukkan oleh :
a. Terjaminnya keberlangsungan fungsi produksi sumber daya hutan berupa kayu dan non kayu.
b. Terjaminnya keberlangsungan fungsi ekologis hutan.
c. Terjaminnya fungsi sosial, ekonomi dan budaya bagi masyarakat lokal.
Sehingga dapat dikatakan bahwa manajemen hutan berdasarkan kelestarian hasil, adalah pengelolaan hutan yang mengarah kepada kontinuitas produksi, dengan kata lain bahwa dalam waktu yang cukup dini, dapat diperoleh suatu keseimbangan antara pertumbuhan netto (riap) dikaitkan dengan penebangan atau pemanenan.
1. KONSEP HUTAN LESTARI
Sebenarnya, konsep pengelolaan hutan lestari di Negara kita tercinta ini sejak dulu sudah diberlakukan yaitu sejak pemerintah memberikan kesempatan pengelolaan hutan kepada swasta dalam bentuk HPH. Aspek-aspek kelestarian telah tertuang dalam Forestry Agreement (FA) atau didalam isi Surat Keputusan pemberian HPH. Semua ketentuan dimaksud harus dilaksanakan oleh pemegang HPH dan di awasi oleh Pemerintah.
Kebijakan Pemerintah Indonesia yang mencantumkan aspek kelestarian di dalam FA atau SK HPH, telah menjadikan political will Bangsa Indonesia mengenai kehutanan dimata Dunia Internasional sudah sangat bagus. Bangsa Indonesia dianggap sebagai negara yang bergerak paling depan diantara negara-negara produsen kayu tropis lainnya.
Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap pemegang HPH yang tertuang dalam FA atau di dalam SK HPH dimaksud antara lain adalah :
a. Pemungutan kayu harus sesuai dengan wilayah kerja serta tidak meninggalkan azas kelestarian dan lingkungan.
b. Kegiatan pengusahaan hutan dilaksanakan dengan cara yang tidak mengakibatkan pemborosan dan kerugian-kerugian sumber daya alam.
c. Dilarang menebang jenis kayu yang dilindungi tanpa ijin khusus dari Menteri Kehutanan.
d. Hak pemungutan hasil hutan oleh penduduk yang sesuai dengan hak adat setempat, tetap berlaku dan wajib di indahkan.
e. Harus dilakukan pengamanan tegakan tinggal dalam melaksanakan kegiatan pengusahaan hutan, untuk menghindari kerusakan hutan dan erosi dengan cara :
1) Penandaan pohon-pohon baik yang akan ditebang maupun tegakan tinggal sebagai pohon inti dan pohon induk.
2) Pohon yang ditebang diameternya tidak boleh kurang dari 50 cm, dan dengan arah rebah yang tepat.
3) Penebangan tidak boleh dilaksanakan pada radius tertentu disekitar mata air, sungai dan daerah-daerah yang mempunyai nilai estetika atau nilai ilmiah.
f. Pengembangan mutu hutan dan hasil hutan harus terus dilakukan dengan cara :
1) Melaksanakan reboisasi, perkayaan, dan permudaan hutan sesuai dengan rencana karya.
2) Membuat tanaman pada lahan yang tidak produktif atau tanah kosong.
g. Perusahaan wajib melindungi arealnya dari gangguan kebakaran, perambahan liar, gangguan hama dan penyakit, dll.
h. Perusahaan wajib melindungi daerah-daerah hutan lindung, hutan wisata, serta suaka alam dengan membuat daerah penyanggah
i. Menjaga keselamatan manusia yang ada diaeralnya.
j. Memberi kesempatan bekerja kepada masyarakat sekitar.
k. Perusahaan wajib membina minimal 1 desa disekitarnya
2. KRITERIA DAN INDIKATOR PENGELOLAAN HUTAN LESTARI
Menetapkan kriteria pengelolaan hutan lestari sudah barang tentu harus berlandaskan kepada nilai-nilai universal yang dihasilkan dari berbagai konvensi Internasional, disesuaikan dengan keadaan khusus biofisik hutan, serta keadaan ekonomi, dan sosial budaya masyarakat di negara masing-masing.
Saat ini Indonesia telah memiliki kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari, untuk pengelolaan hutan produksi alam pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan yang merupakan ratifikasi dari :
a. ITTO Criteria and Indicators for Sustainable Management of Natural Tropical Forest.
b. The International Organization for Standardization, standard ISO 14.000 series.
c. The Principles and Criteria for Forest Management of Forest Stewardship Council (FSC).
Secara garis besar, kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam produksi lestari sebagaimana dimaksud, untuk tingkat kesatuan pengelolaan hutan di Indonesia dimuat dalam standar LEI yaitu:
a. Kelestarian fungsi produksi yang terdiri dari 3 kriteria yaitu (1) Kelestarian Sumber Daya Hutan, (2) Kelestarian Hasil Hutan, (3) Kelestarian Usaha.
b. Kelestarian Fungsi Ekologi yang terdiri dari 2 kriteria yaitu (1) Stabilitas ekosistem, (2) Ketahanan (survival) Species Endemik, Spesies Langka dan Spesies Dilindungi.
c. Kelestarian Fungsi Sosial yang terdiri dari 5 kriteria, yaitu (1) Terjaminnya sistem Terunial Hutan Komunitas, (2) Terjaminnya Ketahanan dan Pengembangan Ekonomi Komunitas dan Karyawan, (3) Terjaminnya Keberlangsungan Integrasi Sosial dan Kultural Komunitas dan Karyawan, (4) Penanggulangan Dampak Kesehatan, (5) Jaminan atas hak-hak Tenaga Kerja.
Departemen (Kementerian) Kehutanan di tahun 1990an juga telah mengeluarkan Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan produksi alam secara lestari pada tingkat Manajemen Unit, yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 610/Kpts-IV/1993 tanggal 12 Oktober 1993.
III. KEBERADAAN HUTAN ALAM INDONESIA SAAT INI
1. PERKIRAAN LUAS HUTAN ALAM INDONESIA
Berdasarkan data hasil penunjukan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan pada 26 Provinsi (sebelum ada pemekaran) yang diterbitkan Badan Planologi Kehutanan tahun 2000 (dalam Suhendang, E. 2002), disana disampaikan bahwa luas hutan Indonesia adalah 120.353.104 Ha, dengan perincian penggunaan sebagai berikut:
a. Hutan Lindung : 33.519.600 Ha
b. Hutan Suaka Alam, Hutan Wisata,Taman Nasional : 20.500.983 Ha
c. Hutan Produksi Tetap : 35.197.011 Ha
d. Hutan Produksi Terbatas : 23.057.454 Ha
e. Hutan Yang dapat Di konversi : 8.078.056 Ha
Dari seluas kawasan hutan sebagaimana tersebut diatas, untuk saat ini keadaannya menurut beberapa lembaga swadaya masyarakat atau lembaga lainnya menyatakan, bahwa sebagian besar sudah tidak berhutan lagi yang diakibatkan adanya perambahan hutan, illegal logging dan pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan lain. Perkirakan luas kawasan hutan yang benar-benar berhutan adalah sekitar 65 juta hektar.
2. TIPE HUTAN INDONESIA
Hutan di Indonesia berdasarkan tipe hutannya cukup beraneka ragam, didalam Vademecum Kehutanan Indonesia, yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Kehutanan tahun 1976, disana diuraikan bahwa hutan di Indonesia mempunyai tipe yang bervariasi dan perkiraan penyebaran hutan alam di Indonesia berdasarkan tipe hutannya adalah sebagai berikut :
· Hutan Hujan = 89,0 juta Ha
· Hutan Musim = 1,0 juta Ha
· Hutan Tanah Gambut = 1,5 juta Ha
· Hutan Rawa = 13,0 juta Ha
· Hutan Payau = 1,0 juta Ha
· Hutan Pantai = 1,0 juta Ha
Jumlah = 105,5 juta Ha
Melihat uraian data di atas, pengelolaan hutan di Indonesia sudah waktunya mempunyai sistim pengelolaan hutan (silvikultur) yang seharusnya telah disesuaikan untuk masing-masing tipe hutan dimaksud, sehingga pengelolaan hutan lestari dapat segera terlaksana.
3. DEFORESTASI (DEGRADASI HUTAN) DIKAITKAN DENGAN INTENSITAS BANJIR DAN ASAP
Data tentang luas hutan alam di Indonesia yang benar-benar berhutan sampai saat ini memang masih simpang siur. Departemen (Kementerian) Kehutanan nampaknya masih enggan menyampaikan data tentang kawasan hutan yang masih berhutan, dan yang benar-benar sesuai dengan kondisi saat ini. Atau mungkin Departemen (Kementerian) Kehutanan memang belum mendapatkan data tersebut. Departemen (Kementerian) Kehutanan hanya bisa memberikan data tentang seberapa besarnya pengurangan luas kawasan hutan di Indonesia dikaitkan dengan luas pelepasan kawasan hutan menjadi kawasan budidaya diluar kehutanan.
Beberapa kelompok masyarakat yang peduli dengan keberadaan hutan di Indonesia memberikan asumsi bahwa di Indonesia setiap tahun rata-rata terjadi perubahan areal berhutan menjadi areal perkebunan, pertanian, dan lain sebagainya, antara seluas 1,5 juta s/d 2 juta Ha.
Sebagai rimbawan tentu dapat juga memperkirakan besarnya areal hutan yang hilang, jika dikaitkan dengan kondisi cuaca dan kejadian-kejadian alam yang terjadi di Indonesia, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Nampaknya sudah menjadi fenomena alam, kalau terjadi musim kemarau pasti akan terjadi asap tebal yang menyelimuti permukaan bumi khususnya di Sumatera dan Kalimantan, demikian juga jika terjadi musim hujan, maka berita tentang terjadinya banjir di beberapa daerah sudah menjadi berita yang biasa kita dengarkan.
Berdasarkan kondisi tersebut, tentunya sebagai Rimbawan sudah dapat memastikan bahwa keberadaan hutan di Indonesia sudah cukup banyak mengalami deforestasi atau degradasi.
4. OTONOMI DAERAH DAN MUNCULNYA RAJA-RAJA BARU
Era reformasi yang dilanjutkan dengan pemberian otonomi daerah telah memicu meningkatnya deforestasi, hal ini dapat kita lihat di beberapa daerah jumlah ijin pemanfaatan kayu cukup banyak yang diterbitkan oleh Bupati, sebagai akibat pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan lain.
Hal ini terjadi, mungkin karena adanya rasa tidak puas antara Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat, dimana sebelumnya Pemerintah Daerah jarang dilibatkan Pemerintah Pusat dalam rencana pemanfaatan hutan di daerahnya. Mereka juga praktis tidak pernah merasakan kontribusi dari hasil pemanfaatan hutan didaerahnya secara langsung. Disamping itu Bupati ingin menunjukkan kepeduliannya kepada masyarakatnya dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga pelepasan kawasan hutan kepada kelompok masyarakat melalui Koperasi dan juga Pengusaha lokal memang perlu.
Sejak pemberlakuan otonomi daerah, juga menyebabkan munculnya Raja–raja baru di daerah, apakah itu dari unsur Pemerintah, atau unsur Perwakilan Rakyat atau juga dari Lembaga-lembaga adat setempat. Kemunculan raja-raja baru ini berdampak kurang baik terhadap keberadaan hutan saat ini, hal ini dapat dilihat dalam waktu singkat banyak bermunculan industri pengolahan kayu dimana-mana yang membutuhkan banyak bahan baku kayu bulat. Dengan rekomendasi Raja-raja baru tersebut, si pemberi ijin merasa tidak berdaya untuk menolaknya. Dan ada juga pengaruh tim sukses pada saat PILKADA, yang menyebabkan Bupati tidak dapat berlaku (bersikap) idiealis lagi.
IV. BELAJAR DARI KEGAGALAN
1. GENERALISASI PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
Dari sudut komoditi politik sebagaimana di uraikan di atas, memang Bangsa Indonesia, adalah salah satu negara yang sejak awal telah memikirkan kelestarian hutan. Departemen yang paling sering dan paling banyak mengeluarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia mungkin adalah Departemen (Kementerian) Kehutanan. Saking banyaknya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan, kadang-kadang ada peraturan yang tumpang tindih, dan ada yang belum di sosialisasikan atau dijalankan sudah di keluarkan lagi peraturan baru yang mengatur hal yang sama. Memang Rimbawan di Indonesia khususnya para Rimbawan di lingkup pengambil keputusan, sangat ahli membuat peraturan-peraturan. Peraturan tersebut lebih banyak diadopsi hanya dari teori-teori saja atau informasi sepihak, sementara disisi lain mereka kurang memikirkan apakah peraturan yang dibuat cocok atau tidak dilaksanakan di lapangan (di daerah).
Disamping itu, peraturan tersebut selalu diberlakukan sama untuk semua daerah sekalipun penyebab munculnya peraturan tersebut akibat terjadinya permasalahan di daerah lain (daerah tertentu).
Kita dapat memberi contoh penerapan sistim pengelolaan hutan (silvikultur TPTI) yang ditetapkan oleh Pemerintah diberlakukan sama untuk semua daerah, pada hal sebagaimana kita ketahui tadi, bahwa daerah itu mempunyai tipe hutan yang berbeda-beda demikian juga sosial budayanya banyak yang berbeda-beda.
Demikian juga kaitannya dengan sumber daya manusia (SDM) yang ada, banyak peraturan tersebut dikeluarkan belum memperhatikan kesiapan SDM yang ada di masing-masing daerah.
Jadi kalau boleh dikatakan, banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah pada umumnya hanya untuk komoditi politik saja.
2. TIDAK JELAS SIAPA YANG BERTANGGUNGJAWAB
Ketika orang atau lembaga swadaya masyarakat atau masyarakat Internasional berteriak, bahwa hutan di Indonesia telah rusak, kenyataan yang kita lihat, semua stake holder saling lempar tanggungjawab. Pemerintah mengatakan itu tanggungjawab pengusaha, karena dalam peraturan sudah jelas dinyatakan demikian, kemudian pengusaha juga tidak mau disalahkan, kami sebagai pengusaha tidak pernah luput dari pemeriksaan pemerintah, segala kegiatan kami harus mendapat ijin lebih dulu dari pemerintah, jadi pemerintahlah yang bertanggungjawab.
Hal yang sama juga terjadi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemerintah Pusat menyampaikan, itu tanggung jawab daerah, karena peraturan perundang-undangan sudah jelas mengaturnya, selanjutnya Pemerintah di daerah juga tidak mau disalahkan, Pemerintah pusat maunya menang sendiri, semua peraturan dibuat oleh Pemerintah Pusat tanpa konfirmasi dengan Daerah, dan apa yang akan dilakukan oleh Daerah harus selalu memohon persetujuan Pusat terlebih dahulu.
Dapat kita bayangkan betapa hebatnya para Rimbawan untuk menghindar dari tanggungjawab dan juga melepas tanggungjawab.
Saya pernah mendengar cerita, ada Menteri Kehutanan yang tidak dari latar belakang kehutanan disaat baru menduduki jabatannya, bertanya kepada para Rimbawan, “tolong tunjukkan pada saya mana areal hutan (HPH) yang baik, yang selama ini sudah dikelola dengan sistim pengelolaan hutan menurut aturan yang berlaku”. Entah karena rasa sungkan atau malu tak seorangpun dari antara para Rimbawan, yang dapat memberi jawaban yang meyakinkan kepada Menteri. Dari percakapan tersebut dapat disimpulkan bahwa selama ini pekerjaan para Rimbawan tidak ada satupun yang dapat dibanggakan.
V. APA YANG MASIH DAPAT DILAKUKAN RIMBAWAN
1. SEKILAS PANDANG TENTANG HUTAN DAN KEHUTANAN INDONESIA
Berbicara mengenai hutan dan kehutanan di tahun 2000an ini, sudah sangat jauh berbeda dengan pembicaraan hutan dan kehutanan di tahun 1970an. Pada tahun 1970 an, dimana setelah adanya kebijakan Pemerintah memberikan kesempatan kepada investor baik di dalam negeri, maupun dari luar negeri untuk mengeksploitasi hutan di luar pulau Jawa, maka ketika ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sudah diterbitkan, para investor dengan segala kegagahanya memasuki hutan atau rimba Indonesia sambil membawa teknologi yang cukup canggih seperti gergaji mesin (chain saw), alat berat berupa traktor, bulldozer, grader, loader dan logging truk. Mereka membawa peralatan tersebut dalam jumlah yang tidak sedikit.
Para Rimbawan Indonesia saat itu terkesima melihat cara kerja semua alat yang ada, karena dalam tempo yang relatif singkat, telah terkumpul ribuan kubik kayu di TPK atau Log Pond yang siap untuk diekspor.
Seiring dengan perjalanan waktu, ternyata teknologi yang ada membuat para rimbawan khususnya pemerintah menjadi terlena atas semua hasil kerja teknologi yang ada, sehingga target tebangan yang seharusnya diselesaikan untuk satu tahun, dalam lima bulan sudah tercapai. Hal ini mengakibatkan alat berat menjadi menganggur. Dalam kondisi ini aspek bisnis mulai mempengaruhi idealisme para Rimbawan, sehingga jatah tebangan tahun yang akan datang mulai dikerjakan secara sembunyi-sembunyi. Para pengusaha mulai merangsang para rimbawan dengan mengaitkan besarnya produksi dengan bonus atau insentif yang mereka terima. Saat itu para Rimbawan sudah dapat unjuk gigi kepada masyarakat luar karena tingkat kesejahteraanya menjadi jauh lebih tinggi.
Memperhatikan bisnis kayu semakin lama, semakin menggiurkan, maka Para investor juga menyiapkan strategi jitu untuk para Rimbawan di Pemerintahan, dengan memberikan balas jasa yang berkedok uang terimakasih, agar dalam mendapatkan ijin dan tambahan jatah tebangan, diciptakanlah suatu siatuasi dan kondisi, bahwa para Rimbawan di Pemerintahan bagai dewa penolong bagi perusahaan.
Waktu kemudian berjalan terus, para Rimbawan terperanjat melihat hutan di Indonesia, telah mengalami degradasi atau kerusakan yang signifikan. Dan alam juga sudah ikut berbicara membangunkan para Rimbawan melalui bencana banjir dan longsor yang sering terjadi.
Indonesia kemudian mengalami permasalahan kekurangan bahan baku untuk industri yang ada. Kayu bulat dari produksi HPH atau Ijin resmi lainnya tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu yang ada. Akibat dari terbatasnya bahan baku tersebut, memicu terjadinya penebangan hutan diluar ijin resmi dari pemerintahan, dan saat itu mulailah dikenal istilah illegal logging.
Selanjutnya para Rimbawan di instansi kehutanan sudah merasa tidak mampu lagi mengatasi pembabatan hutan yang tidak resmi tersebut, yang semakin lama semakin meningkat, sehingga perlu melibatkan Kepolisian, Kejaksaan, dan TNI utnuk mengatasainya, yang dikenal dengan Tindakan Pengamanan Hutan Terpadu (TPHT). Seiring dengan perjalanan TPHT tersebut, ternyata hutan bukannya makin aman, dan illegal logging justru makin meraja lela dibandingkan sebelumnya, sehingga para Rimbawan menjadi terperangkap oleh kebijakannya sendiri. Pupuslah sudah wibawa Rimbawan di rumahnya sendiri.
Sekarang di tahun 2000an ini, berbicara tentang masalah hutan dan kehutanan yang sudah semakin pelik dan membutuhkan perhatian serta pemikiran yang sangat serius. Tekanan dunia Internasional yang menyorot kerusakan hutan di Indonesia semakin gencar, sementara perambahan hutan semakin tidak terbendung. Luas areal berhutan semakin lama menjadi semakin sempit.
Dengan kondisi tersebut apa yang masih dapat dilakukan para Rimbawan ?. Tentu saja ada, karena kalau hal ini dibiarkan, justru mala petaka yang lebih besar akan datang dengan segera. Oleh karena itu para Rimbawan harus berani berbuat, yaitu dengan meningkatkan profesionalisme, mengembalikan wibawa Rimbawan di rumahnya sendiri, dan wujudkan semangat kebersamaan diantara Rimbawan.
2. PENINGKATAN PROFESIONALISME RIMBAWAN
Rimbawan berasal dari kata rimba yaitu hutan, oleh karena itu rimbawan adalah sebutan bagi seseorang yang memiliki profesi kehutanan. Dalam bahasa Inggris rimbawan diartikan sebagai forester merupakan suatu julukan profesi dibidang kehutanan yang telah menguasai dan memahami ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam profesi kehutanan.
Ciri utama dari sebuah profesi yang profesional adalah berani dan mampu bertanggungjawab atas hasil pekerjaan yang telah atau yang sudah dilakukan. Dengan demikian profesionalisme, tidak hanya didukung oleh kemampuan intelektual dan kemampuan teknis saja, juga harus dibarengi dengan suatu tanggung jawab yang jelas dan terukur.
Saat ini kondisi hutan kita telah di nilai masyarakat Indonesia dan masyarakat Internasional telah rusak berat, kita sebagai Rimbawan yang mengklaim dirinya profesional harus berani menunjukkan tanggungjawab kita kepada mereka. Untuk mewujudkan tanggungjawab tersebut semua Rimbawan pertama-tama harus dapat menyamakan visi dan misi terlebih dahulu, dan untuk mengemban tanggung jawab tersebut kita harus mulai dengan berbuat apa yang terbaik dalam diri para Rimbawan.
Didalam deklarasi Cangkuang, yang menjadi landasan darma bakti rimbawan yang dideklarasikan di Cangkuang Sukabumi pada tanggal 4 Nopember Tahun 1999 yang lalu, ada tertuang dalam mukadimah deklarasi tersebut yang menyatakan bahwa “Rimbawan dalam menunaikan tugas mengurus hutan dan kehutanan wajib menyikapinya sebagai amanah untuk memanfaatkan hutan secara optimal dan lestari. Kemudian menyadari bahwa kondisi hutan telah menurun, baik kualitas dan kuantitasnya, menuntut tanggungjawab, dan upaya keras Rimbawan untuk memulihkannya”.
Selanjutnya didalam kode etik profesi Rimbawan antara lain disebutkan, bahwa “Rimbawan harus menempatkan hutan alam sebagai bagian dari upaya mewujudkan martabat dan integritas bangsa di tengah-tengah bangsa-bangsa lain sepanjang zaman, dan Rimbawan harus menguasai, meningkatkan, megembangkan, dan mengamalkan ilmu dan teknologi yang berwawasan lingkungan dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan”.
Dari uraian di atas, kita sebagai Rimbawan, sudah waktunya memperhatikan keberadaan hutan di Indonesia saat ini yang disebut orang sudah sangat memprihatinkan melalui tindakan penyelamatan hutan. Untuk dapat merealisasikan penyelamatan hutan ini, semua Rimbawan harus bersatu padu, memadu daya dan upaya, baik sebagai praktisi, akademisi dan yang di instansi, sehingga dari kebersamaan itu terwujud suatu sinergi.
Sejalan dengan otonomi daerah, sudah waktunya Rimbawan yang ada di masing-masing Provinsi, berkumpul bersama untuk membahas masalah hutan dan kehutanan di daerahnya masing-masing. Hasil pembahasan harus dapat membuat program kehutanan di daerah tersebut yang dijadikan masukan bagi pemerintah daerah Provinsi, termasuk di pemerintahan Kabupaten dan Kota. Setidak-tidaknya setiap tahun, atau pada setiap moment tertentu, seperti pada saat hari bakti rimbawan, para Rimbawan perlu berkumpul bersama untuk membahas masalah hutan dan kehutanan sebagaimana dimaksud di daerah masing-masing.
Terlaksananya kebersamaan tersebut, secara tidak langsung dapat meningkatkan profesionalisme Rimbawan.
Komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang akan memberantas Illegal logging, perlu kita doakan agar tidak sekedar komoditi politik belaka, kiranya komitmen tersebut dapat menjadikan para Rimbawan, untuk lebih mendorong semangat kerja dan meningkatkan rasa kecintaan kembali kepada hutan.
Pemerintah juga telah membuat program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) untuk menyelamatkan hutan yang rusak. Hal ini juga perlu disikapi positip oleh para Rimbawan, karena keberhasilan GNRHL tidak terlepas dari keikut sertaan para Rimbawan untuk memainkan peranan masing-masing sesuai fungsi dan tugasnya. Seyogianya para Rimbawan harus menjadi pionir dan ujung tombak dalam pelaksanaan proyek ini, bukan hanya sebagai konseptor atau pengamat saja.
3. PENERAPAN ILMU DAN TEKNOLOGI
Keberadaan hutan di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, terdiri dari berbagai tipe. Secara khusus di Provinsi Riau, Jambi dan Kalimantan didominasi oleh hutan rawa dan gambut, diikuti hutan tanah kering dan hutan pantai. Sistim pengelolaan hutan (silvikultur) perlu disesuaikan dengan masing-masing tipe hutan tersebut, untuk itu ilmu dan teknologi dalam pengelolaan hutan yang dikenal dengan Scientific Forest Management perlu diterapkan.
Pendekatan sains dalam pengelolaan hutan memang sudah waktunya diberlakukan, karena didalamnya sudah diikuti dengan pendekatan ekonomi, ekologi dan sosial budaya serta teknologi, dan pendekatan ini juga disesuaikan kepada masing-masing tipe hutan yang akan dikelola.
Penerapan sistim silvikultur TPTI yang diberlakukan bagi semua kawasan hutan produksi di Indonesia, membuat para rimbawan tidak kreatif dan kurang inovatif, hal ini terjadi karena di dalam pedoman TPTI tersebut telah diatur segala-galanya mengenai pengurusan hutan. Disamping itu Pemerintah melalui instansi kehutanan menilai keberhasilan HPH selalu mengacu dengan kaku pada pedoman TPTI yang dikeluarkan Departemen (Kementerian) Kehutanan tersebut. Artinya apabila ada yang tidak sesuai dengan pedoman TPTI tersebut, pengusaha HPH dinilai tidak melakukan pengelolaan hutan dengan baik, pada hal mungkin saja apa yang tertuang dalam pedoman TPTI tersebut memang tidak dapat diterapkan di HPH tersebut.
Landasan dalam pengelolaan hutan di Indonesia seperti yang kita lihat didalam TPTI, sifat kebijakan yang dijalankan adalah berupa sifat perintah dan kendalikan (command and control), akibatnya seluruh perilaku pengelolaan hutan harus taat pada perintah tersebut.
Sifat seperti ini mempunyai kelemahan-kelemahan yaitu :
a. Seluruh resiko atas usaha kehutanan terletak di tangan Pemerintah
b. Begitu mudahnya hutan dan hasil hutan menjadi kompensasi atas segala bentuk biaya yang timbul dari usaha kehutanan, karena hutan dan hasil hutan tidak pernah masuk dalam kalkulasi ekonomi yang harus dipertanggung-jawabkan kepada publik. Kondisi ini dapat memicu terjadinya kolusi dan korupsi dalam pengelolaan hutan.
c. Sulit meningkatkan efisiensi pemanenan dan pemanfaatan hasil hutan serta meningkatkan nilai tambahnya, karena perilaku untuk melakukan efisiensi sangat kecil kemungkinannya.
Memperhatikan hal di atas maka untuk kebijakan selanjutnya, kebijakan ekonomi sumber daya hutan (economics of forestry) seharusnya menjadi faktor yang dominan digunakan dalam menentukan langkah kebijakan pengelolaan hutan. Berikanlah kesempatan kepada pengusaha untuk mengatur jumlah produksi sesuai pasar yang ada. Oleh karena itu azas fleksibilitas mungkin sudah waktunya di pertimbangkan untuk diberikan kepada pengusaha, asalkan tidak menyimpang dari ketentuan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari yang telah ditetapkan.
Seiring dengan karakteristik dan tipe hutan di Indonesia yang cukup bervariasi, sudah waktunya masing-masing daerah diberikan otoritas untuk menentukan jenis pengelolaan hutan (silvikultur) yang terbaik bagi daerahnya masing-masing.
Peranan perguruan tinggi di masing-masing daerah dapat diberdayakan untuk membantu para Rimbawan dalam mencari sistim pengelolaan hutan di daerah tersebut melalui pendekatan ilmu dan teknologi. Dengan perlakuan tersebut maka hutan yang masih ada, masih dapat di rekayasa untuk dikelola dengan baik dengan tetap mengacu kepada Pengelolaan Hutan Lestari.
VI. PENUTUP
Tidak ada kata terlambat untuk berbuat baik, itulah setidak-tidaknya kata yang tepat bagi para Rimbawan yang mau peduli terhadap masalah hutan dan kehutanan di Indonesia. Kebersamaan dan kesepahaman, yang diperkuat dengan visi dan misi yang jelas, para Rimbawan masih dapat memulihkan kewibawaannya untuk mengurus dan mengelola hutan di Indonesia.
Adanya kemauan untuk meningkatkan ilmu dan pengetahuan dari saling tukar pengalaman di antara Rimbawan, dan dukungan dari lembaga akademisi kehutanan yang handal, maka pengelolaan hutan lestari masih dapat kita laksanakan melalui rekayasa penerapan ilmu dan teknologi.
“Mari kita berpadu daya, menggunakan upaya, melestarikan hutan persada”.
Ir. Roland Hutajulu
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian, Jakarta.
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). 2000. Standar LEI Seri 5000. Lembaga Ekolabel Indonesia, Jakarta
Panitia Nasional Kongres Kehutanan Indonesia, 2001. Deklarasi Cangkuang. Panitia Nasional Kongres Kehutanan Indonesia, Jakarta.
Manan, S. 1997 Hutan Rimbawan dan Masyarakat, Penerbit IPB Press, Bogor
Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan, Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan, Bogor
Keterangan :
Penulis adalah Karyawan PT. Inhutani IV (Persero).
Bagus... mari kita sama-sama melestarikan hutan...ok!
BalasHapus