Minggu, 07 Oktober 2012

QUO VADIS PERUSAHAAN PENCEMAR DANAU TOBA



QUO VADIS PERUSAHAAN PENCEMAR DANAU TOBA, HARUSKAH DITUTUP ?
OLEH Ir. ROLAND HUTAJULU

Cukup membanggakan perhatian tokoh masyarakat, pejabat dan politikus tentang eksistensi Danau Toba saat ini, terutama berkaitan dengan pencemaran yang terjadi di danau Toba. Hanya saja sangat disayangkan bahwa pernyataan-pernyataan yang disampaikan belum mengarah kepada solusi pemecahan persoalan yang sedang terjadi. Tapi lebih cenderung hanya menyalahkan saja, baik itu kepada pemerintah, perusahaan dan masyarakat tertentu. Khusus bagi perusahaan yang dianggap sebagai  penyumbang pencemaran danau Toba,  selalu diminta untuk segera ditutup.  

Salah satu perusahaan yang dianggap penyumbang pencemaran danau Toba adalah Perusahaan Peternakan PT ALLEGRINDO NUSANTARA (PT AN), yaitu dengan membuang limbah kotoran ternak baik yang padat maupun cair secara langsung ke danau Toba, sehingga Perusahaan ini perlu segera ditutup untuk mencegah pencemaran di danau Toba.

Dari berbagai sumber termasuk dunia maya atau internet. Dari informasi yang saya temukan ternyata PT AN terletak di Kelurahan Tiga Runggu Kecamatan Purba telah membuang limbah cair ke danau Toba selama 16 tahun ini sebesar 1.200 m3 per hari dikali 365 hari dikali 16 tahun yaitu 7.008.000 m3. Dan limbah padat sebesar 60.000 kg per hari dikali 365 hari dikali 16 tahun sama dengan 350.400.000 kg.

Saya tertarik dengan permasalahan ini, mengapa sebegitu kejamnya perusahaan tersebut membuang limbah kotoran ternak langsung ke danau Toba, sementara kotoran ternak tersebut baik cair maupun padat sangat dibutuhkan oleh para petani untuk menjadi pupuk organik. Perlu diketahui, bahwa sepanjang perjalanan dari Kaban Jahe sampai ke Simarjarunjung (± 90 Km) adalah lahan pertanian dengan komoditi sayur-sayuran, kopi dan jeruk yang membutuhkan ribuan ton pupuk organik per bulan.

Tidak jauh dari lokasi PT AN, Japolin Purba pemilik warung kopi berkesempatan berbincang-bincang dengan penulis. Sebagai Ketua RT 20 Desa SAHALA Kelurahan Tiga Runggu, Kecamatan Purba. Japolin dan Jatin menjelaskan bahwa dulu perusahaan memberikan bantuan kepada masyarakat seperti rehabilitasi gereja Katolik, gereja HKBP dan gereja GKPS. Membangun MCK, sarana air bersih, rehabilitasi puskesmas, sekolah dan membangun jalan kampung, bantuan perlengkapan pertanian, membangun jaringan semua listrik sampai keperkampungan, membangun listrik genset jika PLN bermasalah, perbaikan jembatan, discount khusus untuk pembelian babi untuk pesta adat dan kemalangan, bantuan obat-obatan dan penyuluhan pertanian, rehabilitasi Kantor Camat Purba, Kantor Polsek Purba dan sekolah, bea siswa untuk siswa yang berprestasi mulai dari SD,SMP,SMA.

Tentang limbah berupa kotoran ternak baik berupa limbah padat (feses) maupun limbah cair (urine), Pak Jatin dan pak Japolin menyampaikan, “Perusahaan memang sudah melakukan pengolahan limbah dan limbah padat dijadikan kompos, kami masyarakat sebenarnya lebih suka dengan kotoran ternak yang masih mentah”, kemudian disampaikan lagi bahwa limbah cair (urine) yang sudah ditampung beberapa hari di kolam, sangat baik sebagai pupuk daun. “sebenarnya hal ini sudah sering kami sampaikan pada perusahaan” kata pak Jatin. “baru-baru ini ada PANJA di DPRD Kabupaten Simalungun, yang menghasilkan beberapa kesepakatan berupa bantuan perusahaan, namun kesepakatan tersebut tidak termasuk Desa SAHALA, akan tetapi hanya untuk masyarakat Desa Urung Panei I dan Urung Panei II,  sementara kami yang juga berdekatan dengan perusahaan tidak dilibatkan” seru pak Jatin kembali. Menyangkut apakah ada dalam kesepakatan tersebut yang berkaitan dengan pemanfaatan limbah atau kotoran ternak, Jatin menjawab bahwa dalam kesepakatan tersebut, berkaitan dengan limbah padat, adalah berupa KOMPOS yang diberikan gratis kepada masyarakat Urung Panei I, Urung Panei II dan Simpang Naga Panei sebanyak 10 truk colt diessel untuk setiap RT setiap minggu. “Berarti untuk Desa SAHALA tidak kebagian kompos dong” ujar saya kepada mereka, “makanya kami protes kepada Camat Purba, mengapa kami tidak dilibatkan” jawab pak Jatin kembali. “sebenarnya terkait dengan persoalan limbah terutama kotoran ternak, kalau PIMPINAN PERUSAHAAN mau duduk bersama dengan MASYARAKAT, tidak akan ada masalah” kata pak Jatin kembali yang juga di amini oleh pak Japolin. “dulu perusahaan banyak memperhatikan masyarakat setempat, akan tetapi setelah ada perubahan manajemen, maka kepedulian perusahaan menjadi berkurang banyak” sahut pak Japolin. Adanya pemberian kompos kepada masyarakat yang tidak merata, menjadi persoalan yang cukup serius, sehingga bagi masyarakat yang tidak kebagian kompos, mencari celah untuk menekan perusahaan, kata pak Jatin lagi.

Jika diasumsikan Peternakan tersebut akan menghasilkan limbah padat sebanyak 60.000 kg per hari. Dengan mengandaikan kotoran (feses) mentah dikumpul langsung kedalam karung, maka untuk 60.000 kg limbah tersebut diperkirakan membutuhkan 60 HOK/hari  atau sekitar Rp. 100.000.000,- per bulan. Kemudian untuk penanganan limbah cair sebesar 1.200 m3 per hari, dari proses pengolahan di kolam sampai didistribusikan ke masyarakat dengan menggunakan mobil Tanki diasumsikan membutuhkan biaya sebesar Rp. 120.000.000,- per bulan, maka total pengeluaran perusahaan untuk menangani limbah (FESES dan URINE)  adalah Rp. 220.000.000,- per bulan.

Dengan biaya tersebut, perusahaan saya perkirakan masih mendapatkan kontribusi margin yang cukup untuk setiap bulannya. Dan limbah Peternakan tersebut dapat semuanya digunakan masyarakat menjadi pupuk organik. Dengan demikian dapat dicegah pencemaran  limbah Peternakan PT AN ke danau Toba.

Jika memang masyarakat lebih membutuhkan limbah padat (feses) mentah, yang selanjutnya diolah sendiri oleh masyarakat menjadi pupuk organik, maka PT AN sebenarnya tidak perlu mengolah limbah (kotoran) ternak dengan biaya besar.

PT AN harus menata kembali pogram bantuan sosial kepada masyarakat sebagaimana pernah dilakukan sebelumnya, dengan menyisihkan sedikitnya sebesar 5% dari Laba Perusahaan. Agar program bantuan sosial tersebut menjadi tepat guna dan tepat sasaran, PT AN harus melibatkan masyarakat dan PEMDA setempat untuk ikut dalam perencanaan.

Issu yang berkembang tentang PT AN yang membuang limbah langsung ke danau Toba, lebih banyak disebabkan karena distribusi pemberian kompos yang tidak diatur sedemikian rupa, sehingga ada yang kebagian ada yang tidak, demikian juga bantuan sosial kepada masyarakat yang tidak merata.

Apabila penanganan limbah dapat diatasi dengan baik, melalui kerja sama dengan masyarakat, maka PT AN masih perlu dipertahankan, mengingat peranan PT AN kepada masyarakat setempat, khususnya berkaitan suplai ternak babi untuk acara adat (pesta), sangat diharapkan.

TULISAN INI TELAH DIMUAT DI HARIAN SINAR INDONESIA BARU TGL 5 OKTOBER 2012