DANAU TOBA DALAM PERSPEKTIF PENCEMARAN LIGKUNGAN
Oleh: Ir. Roland Hutajulu
Seorang
ahli geologi dari Belanda, Van-Bemmelen, mengatakan bahwa kawasan Danau Toba
dikelilingi oleh kelompok batuan hasil letusan gunung api, dan danau tersebut
terjadi dari suatu bekas kaldera vulkanik yang sangat besar. Letusan abu
vulkanik yang menyebabkan terbentuknya kaldera Toba tersebut, tersebar hingga
wilayah Malaysia dan India, hingga jarak 3.000 km. Hal tersebut, dibuktikan
dengan dijumpainya abu riolit yang sama di sekitar Danau Toba dengan yang
ditemukan di wilayah Malaysia dan India. Ada juga beberapa bukti lain, yaitu berdasar
pada mitochondrial DNA, bahwa ras manusia berkurang menjadi hanya beberapa ribu
individu akibat letusan gunung Toba.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan,
bahwa eksosistim danau Toba cenderung seragam, artinya tidak ada daerah yang
spesifik di kawasan danau Toba.
Sekalipun
danau Toba begitu indah, namun belum mempunyai nilai jual yang berarti, baik untuk
objek wisata, maupun untuk pemanfaatan sumber daya alamnya, karena tidak
didukung sarana dan prasarana yang memadai, disamping itu budaya masyarakat
setempat belum mendukung sebagai stimulan bagi wisatawan agar lebih tertarik
berkunjung ke danau Toba. Masyarakat sekitar danau Toba juga belum memberikan ketenangan,
keamanan dan kenyamanan bagi wisatawan di tempat wisata danau Toba.
Para wisatawan terutama wisatawan manca negara jarang berkunjung ke danau Toba
lebih dari satu kali, hal ini disebabkan daya tarik danau Toba, hanya dari keindahan
alamnya saja, sehingga dengan sekali berkunjung sudah merasa cukup. Sementara pemanfaatan permukaan danau Toba saat ini, untuk
usaha, baru digunakan untuk budidaya ikan
tawar, seperti kerambah jaring apung (KJA), disamping untuk nelayan tradisional.
Dari data
sekunder yang ada, kemudian jika dikombinasikan dengan peta penafsiran Citra Satelit,
bahwa kawasan
danau Toba yang meliputi luasan 3.658 km2, yang dimanfaatkan untuk objek wisata diperkirakan
sekitar 15 %, dan diperkirakan sekitar 1.985 Hektar atau
1,8 % dari luas permukaan danaunya (110.300
Ha) yang baru dimanfaatkan untuk usaha kerambah
jaring apung (KJA), baik yang berbentuk perusahaan maupun perorangan. Sementara
di pinggiran Danau Toba dimanfaatkan untuk lahan Pertanian dan Peternakan.
Dewasa
ini, muncul kesan dan pandangan bahwa Danau Toba sudah begitu tercemar
akibat adanya usaha Kerambah Jaring Apung seperti milik Perusahaan PT Aquafarm
Nusantara dan usaha peternakan seperti milik Perusahaan Allegrindo Nusantara, disamping limbah
masyarakat dari rumah tangga dan limbah pertanian.
Pencemaran yang di lakukan
oleh kedua perusahaan ini, saat ini dituding telah mengakibatkan keberadaan
Danau Toba sudah tercemar bahkan sangat memprihatinkan (Berita SIB Tanggal 31 Juli 2012), sehingga ijin kedua Perusahaan
ini perlu ditinjau kembali, bahkan disarankan untuk dicabut.
Namun yang menjadi pertanyaan,
dapatkah kita mengambil kesimpulan sedemikian rupa tanpa adanya kajian teknis
dan analisa yang jelas, berdasarkan kriteria dan ukuran yang sudah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara kita ini?. Selanjutnya
apakah sumber penyebab dampak negatif yang dihasilkan oleh perusahaan ini, tidak
dapat lagi diminimalisasi sedemikian rupa, sehingga perusahaan yang sudah investasi
cukup besar dan telah memberikan kontribusi yang positip bagi Negara selama
ini, harus dihentikan?.
Oleh karena itu saya ingin memberikan
pandangan, terkait dengan mekanisme penuntutan tanggungjawab pengusaha terhadap
kerusakan lingkungan, dan gambaran dampak lingkungan yang diakibatkan ke dua
perusahaan tersebut.
Berkaitan
dengan kawasan Danau Toba, Pemerintah
telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2008, Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional, dimana kawasan Danau Toba dan sekitarnya
ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional.
Kemudian
berkaitan dengan usaha pemanfaatan kawasan tersebut, agar selalu berwawasan
lingkungan, maka Pemerintah bersama DPR telah menerbitkan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dan
sebagai tindak lanjut dari Undang-undang tersebut, Pemerintah juga telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010,
yang menyatakan, bahwa setiap usaha atau kegiatan yang tidak diwajibkan
menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), wajib menyusun Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan dokumen
UKL dan UPL. Dokumen UKL dan UPL ini disusun oleh Pengelola kawasan, dimana dalam dokumen
tersebut diuraikan tentang apa saja dampak lingkungan yang mungkin terjadi dari
usaha yang akan dilakukan, baik yang positip maupun yang negatif, dilihat dari
aspek fisik-kimia, aspek biologi, aspek sosial budaya, aspek estetika dan aspek
lainnya. Dalam dokumen UKL dan UPL ini juga mencantumkan bagaimana Pengelola
untuk mengeliminasi atau memitigasi dampak negatif tersebut, agar tidak merusak
lingkungan dan tidak mengganggu masyarakat.
Apabila
UKL dan UPL ini, tidak dijalankan sebagaimana mestinya, maka Instansi terkait
seperti Badan Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota maupun Propinsi akan melakukan
pembinaan kepada Pengelola tersebut. Kemudian jika pengelola tidak mengindahkan pembinaan atau teguran
dari instasi terkait, maka instansi tersebut dapat melaksanakan audit
lingkungan terhadap kegiatan tersebut, sesuai UU
no. 32 Tahun 2009 fasal 50 dan Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Audit Lingkungan
Hidup, yaitu untuk mengevaluasi dan menilai ketaatan penanggung jawab usaha
(Pengelola) terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Audit Lingkungan Hidup ini dilaksanakan oleh lembaga independen
yang sudah bersertifikat.
Jika
berdasarkan hasil audit lingkungan, Pengelola ternyata bersalah, maka si
Pengelola akan mendapat sanksi atau hukuman berdasarkan UU no. 32 Tahun 2009
tersebut (fasal 54, 76, 98, dan 99).
Kasus
pencemaran lingkungan hidup dapat juga diadukan oleh perorangan, masyarakat
atau lembaga lainnya kepada yang berwajib, apabila masyarakat merasa terancam bahaya
karena kegiatan atau usaha di lingkungan mereka tersebut, sudah
mencemarkan lingkungan
(UU no. 32 Tahun 2009 fasal 70). Prosedur
pengaduannya sudah diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
19 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau
Perusakan Lingkungan Hidup.
Kembali
ke persoalan usaha kerambah jaring apung (KJA) PT
Aquafarm Nusantara, sumber dampak dari Usaha Kerambah Jaring Apung ini adalah
pemberian Pelet makanan ikan, sementara
Usaha Peternakan PT Allegrindo adalah dari limbah kotoran hewan dan sisa
makanan.
Berbicara
mengenai pelet makanan ikan yang terbuang ke dasar danau Toba, sebenarnya tidak
memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap biota danau Toba, bahkan
saya berpendapat sisa makanan tersebut dapat memicu ikan dibawah kerambah
tersebut mendapat makanan tambahan, yang tentunya dapat mempercepat pertumbuhan
ikan-ikan diluar kerambah tersebut.
Kemudian
berbicara tentang limbah kotoran ternak PT Allegrindo, yang diperkirakan
besaral dari buangan Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL), yang menurut saya,
bahwa air limbah yang sudah melalui proses IPAL tersebut justru dapat
dimanfaatkan untuk pupuk tanaman, karena limbah tersebut banyak mengandung
Ammonia seperti pupuk Urea. Hanya saja prosedur pemanfaatan limbah tersebut
perlu diatur oleh PEMDA SETEMPAT, agar dapat memberdayakan masyarakat setempat
untuk budidaya holtikultur sejenis sayur-sayuran.
Suatu lingkungan dikatakan sudah tercemar, adalah
kalau pencemarannya, sudah melampaui daya dukung lingkungan hidup kawasan
tersebut, dan dampak pencemaran tersebut harus dilihat dari lima hal yaitu; (1) sebaran dampak, (2) luasan yang terkena dampak, (3)
lamanya dampak berlangsung, dan (4) jumlah manusia yang terkena dampak,
serta (5) berbalik tidaknya dampak tersebut. Keberadaan
KJA, jika dibandingkan dengan luas kawasan danau Toba yang begitu luas, dapat
dikatakan belum merusak ekosistem danau Toba, dan lamanya dampak yang
diperkirakan akibat pemberian makanan ikan yaitu pelet, hanya berlangsung sementara
saja, selanjutnya terkait jumlah masyarakat yang terkena dampak, justru banyak masyarakat
yang mendapatkan dampak positip. Sementara limbah dari
Peternakan, sebenarnya tidak perlu dibuang sampai ke danau Toba, jika ingin
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Maka untuk itu program ini, perlu dimasukkan
dalam dokumen UKL danm UPL perusahaan tersebut.
Munculnya persoalan atau
polemik, yang berusaha mengaitkan pencemaran lingkungan akibatkan perusahaan tersebut,
adalah disebabkan keberadaan lokasi perusahaan ini, dekat dengan lokasi wisata
yang memang membutuhkan nilai estetika yang tinggi. Persoalan ini sebenarnya
dapat terselesaikan apabila Tata Ruang Kabupaten di sekitar kawasan danau Toba
sudah ditetapkan sedemikian rupa dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2008, dan
Tata ruang Propinsi Sumatera Utara, dengan demikian tidak ada lagi conflict
interest.
Saat ini, saya justru banyak berharap
kepada DPRD Kabupaten dan DPRD Propinsi bersama-sama dengan PEMDA setempat, agar
segera membuat peraturan daerah berkaitan dengan pengelolaan danau Toba, yang dapat
menjadi acuan yang jelas bagi investor untuk memanfaatkan kawasan danau Toba
ini, sehingga investor sudah dapat berusaha dengan nyaman, tanpa ada gangguan
yang berarti.
Tulisan
ini, telah dimuat di Harian Sinar Indonesia Baru , Hari Sabtu Tanggal 4 Agustus
2012