Selasa, 24 Januari 2012

PERDAGANGAN KARBON SUMBER PAD

Dapatkah Perdagangan Karbon Menjadi  Sumber PAD Bagi Daerah Yang Berhasil Menjaga Hutan?
Oleh : Ir. Roland Hutajulu

Pemanasan Global (Global Warming) sudah merupakan masalah Internasional yang harus di antisipasi sedemikian rupa oleh setiap negara. Kenaikan suhu bumi, sudah di akui akan memberikan ancaman yang cukup serius bagi masyarakat dunia, karena perubahan kenaikan suhu bumi akan dapat memberikan bencana bagi umat manusia berupa iklim yang tidak menentu (berubah – ubah) seperti seringnya datang angin puting beliung, musim kemarau yang panjang, curah hujan yang sangat tinggi, sehingga mengganggu pada pola kehidupan masyarakat, yang tentunya membuat manusia makin sengsara. Disamping itu permukaan laut semakin naik karena gunung es, baik yang di kutub maupun yang di gunung akan mencair dan mengalir ke laut.

Mengapa terjadi Pemanasan Global?

Untuk menjelaskan ini, alangkah baiknya kita memperhatikan uraian berikut: jika kita memiliki rumah yang atap dan  dindingnya terbuat dari kaca tembus cahaya seperti green house. Jika cahaya matahari masuk ke dalam rumah tersebut maka akan terasa suhu di dalam rumah kaca tersebut, jauh lebih panas jika kita berada di luar rumah kaca, hal ini disebabkan karena panas dari sinar matanari tersebut tidak bebas keluar karena sudah terperangkap oleh atap dan dinding kaca. Hal seperti inilah yang terjadi pada bumi kita saat ini, dimana ada gas yang dihasilkan dari kendaraan bermotor, pabrik atau industri, pembakaran kayu, pembakaran lahan dan kebakaran hutan yang membuat lapisan di atmosfer berbentuk seperti lapisan kaca yang tembus cahaya. Gas tersebut di kenal dengan Gas Rumah Kaca (GRK) seperti CO2, CH4, N2O, PFC5, dan SF6.
Diperkirakan CO2 merupakan gas yang paling banyak membentuk lapisan kaca dimaksud. Disamping itu gas rumah kaca ini, juga dapat merusak lapisan OZON yang ada di atas lapisan atmosfir, yang dapat menimbulkan radiasi sinar Matahari langsung ke permukaan bumi.

Gas Rumah Kaca (GRK) ini dihasilkan dari kegiatan manusia setiap hari, maka seiring dengan semakin meningkatnya populasi manusia, maka gas rumah kaca ini pun semakin meningkat dan semakin lebar, akibatnya panas dari sinar matahari yang terperangkap di dalam bumi membuat panas dibumi semakin meningkat, peristiwa inilah yang menyebabkan pemanasan global.

Munculnya pemanasan global ini sudah diperkirakan oleh ahli lingkungan hidup jauh-jauh sebelumnya, sehingga pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia,  diadakan konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup yang membahas adanya pemanasan global.

Kemudian pada tahun 1992 diadakan konferensi Bumi di Rio de Jenairo, Brasil, yang menghasilkan kesepakatan, agar konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer harus berada pada tingkat aman. Namun dalam lima tahun berikutnya ternyata ancaman pemanasan global semakin meningkat sehingga pada 1997 di Jepang tepatnya di Kyoto, diadakan konferensi tingkat dunia yang membahas perubahan iklim yang menghasilkan Protokol Kyoto yang ditanda tangani oleh 84 negara.

Dalam konferensi tersebut sebanyak 38 negara industri berkomitmen untuk mengurangi Gas Rumah Kaca di negara masing – masing sebesar 5,2% sampai tahun 2012. Indonesia melalui UU No. 17 tahun 2004 telah meratifikasi protokol Kyoto dimaksud.

Perlu diketahui bahwa dalam “Protokol Kyoto” disebutkan, bagi Negara yang tidak sanggup mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai perjanjian yang sudah disepakati, akan membayar kompensasi kepada negara yang sanggup mengurangi emisi gas rumah kaca.

Nampaknya Negara – negara industri seperti Kanada, Amerika Serikat, Rusia dan negara Eropa agak kewalahan untuk mencapai target penurunan emisi  gas rumah kaca sesuai perjanjian. Oleh karena itu Negara-negara yang mampu menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai target, sudah mulai menyikapi ketidak mampuan negara industri tersebut, dengan mengajukan program – program yang membutuhkan dana dari Negara-negara yang tidak mampu menurunkan emisi gas rumah kaca.

Indonesia pada konvensi perubahan Iklim di Bali pada tahun 2007, memperjuangkan program REDD (Reduction of Emisions from Deforestation and forest Degradation) Program ini adalah program pengurangan emisi GRK melalui pemeliharaan dan penjagaan hutan, yang dapat mencegah perambahan dan pengrusakan hutan.

Negara yang sudah bersedia memberikan dana untuk program REDD di Indonesia adalah Norwegia dengan memberikan dana secara bertahap dengan total sebesar US$ 1 Milyar atau setara dengan 9 Trilyun rupiah, jika Bangsa Indonesia sanggup merealisasikan program REDD sebagaimana diharapkan.
Australia juga sudah mengucurkan dana sebesar 47 juta Dollar Australia untuk mengembangkan program REDD di Indonesia.

Diperkirakan bahwa kelanjutan Protokol Kyoto yang  berakhir tahun 2012 ini, akan semakin memberikan peluang bagi bangsa Indonesia yang masih memiliki hutan yang luas, untuk mendapatkan dana dari Negara-negara Industri, yang sudah jelas mengakui tidak sanggup menurunkan emisi GRK di negaranya. Tanda-tanda ini mulai kelihatan pada pertemuan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim di CANCUN Mexico tahun 2010, dan di DURBAN Afrika Selatan tahun 2011.

Untuk menunjukkan keseriusan Bangsa Indonesia mengurangi emisi GRK, maka Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 61 tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Perpres nomor 71 tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rmah Kaca.

Perdagangan Karbon (Carbon Trade)

Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar yang memungkinkan terjadinya negosiasi dan pertukaran hak emisi gas rumah kaca. Mekanisme pasar yang diatur dalam Protokol Kyoto ini dapat terjadi pada skala nasional maupun internasional sejauh hak-hak negosiasi dan pertukaran yang sama dapat dialokasikan kepada semua pelaku pasar yang terlibat

Dapat dimaklumi bahwa setiap daerah yang mempunyai banyak kandungan Oksigen (O2) yang dikenal dengan zat asam, akan terasa bahwa udara di daerah tersebut segar dan sejuk, sementara bagi daerah yang  mempunyai kandungan Carbon dioksida (CO2)  yang banyak, daerah tersebut akan terasa panas, dan manusia sulit bernapas. Kalau kita lihat, bagi setiap daerah yang udaranya segar, pada umumnya adalah di daerah yang memiliki banyak pohon atau tanaman atau hutan, sedangkan daerah yang memiliki  CO2 yang banyak adalah daerah Industri dan daerah yang memiliki banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang, seperti  di kota-kota besar.

Tentunya kita sudah mengetahui bahwa tumbuhan atau pohon, selalu melakukan proses foto sintesa, yang bertujuan agar tumbuhan itu tambah besar dan dapat berkembang biak. Proses foto sintesa tersebut membutuhkan panas sinar matahari dan zat Carbon dioksida (CO2), yang menghasilkan makanan bagi tumbuhan dan mengeluarkan Oksigen (O2) ke udara bebas. Gas O2 ini yang dibutuhkan manusia dan hewan untuk bernapas.

Kalau kita berbicara hutan yang luas, maka dapat dipahami, bahwa pohon-pohon dan tumbuhan yang sangat banyak di hutan itu,  akan membutuhkan CO2 yang sangat banyak dan tentunya menghasilkan O2 yang juga sangat banyak. CO2 yang dibutuhkan tumbuhan tersebut sebagian berasal  dari cadangan Karbon disekitarnya, dan menyerap CO2 dari daerah-daerah yang banyak memproduksi CO2 melalui angin yang berhembus.

Sebagaimana disebutkan,  bahwa penyebab utama terbentuknya lapisan GRK adalah gas CO2, sehingga bagi Negara yang banyak menghasilkan gas CO2 ini, akan menjadi Negara yang berkewajiban untuk menyediakan dana bagi Negara yang mampu menyerap gas CO2 dari udara bebas. World Meteorology Organization (WMO) dan United Nations Environtment Programme (UNEP) membentuk Inter Govermental Panel on Climate Change (IPCC) yang sudah diakui oleh Badan PBB, mempunyai tugas untuk mendeteksi perkembangan perubahan iklim di Dunia, dan mengukur serta melaporkan  dampak yang akan terjadi. IPCC juga bertugas untuk menerbitkan Metode pengukuran GRK dan emisi GRK bagi setiap daerah atau wilayah. Salah satu metoda yang sudah diterbitkan IPCC adalah IPCC –GL 2006, yaitu metode pengukuran Karbon di lapangan (di satu wilayah).

Melalui metode yang diterbitkan IPCC ini, maka di setiap wilayah akan dapat diketahui berapa besar kandungan CO2 yang dihasilkan dan juga  mengukur penyerapan CO2 dari udara bebas.
Jika semua negara sudah mengakui metode pengukuran yang diterbitkan oleh Inter Govermental Panel on Climate Change (IPCC) ini, maka akan lebih mudah untuk mencapai kesepakatan antara Negara – negara yang berkaitan dengan perdagangan Karbon (Carbon Trade).



Dapatkah Perdagangan Karbon menjadi Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Peraturan Presiden (Perpres) nomor 71 tahun 2011, tentang penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK), adalah merupakan tindak lanjut dari Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu pada pasal 63 ayat 1 butir f.

Perpres nomor 71 tahun 2011 ini, bertujuan untuk menyediakan informasi secara berkala mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan emisi dan serapan Gas Rumah Kaca, termasuk simpanan karbon di tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Berdasarkan Perpres 71 tahun 2011 tersebut, baik tingkat Nasional, Provinsi maupun Kabupaten/Kota, wajib melakukan Inventarisasi Gas Rumah Kaca di wilayahnya masing-masing.
Pada pasal 3 Perpres nomor 71 tahun 2011 ini disebutkan, “simpanan karbon (Carbon stock) dan serapan GRK harus dihitung pada semua sumber emisi dan penyerapannya”. Ketentuan ini juga berlaku bagi provinsi maupun kabupaten/kota.

Sejalan dengan diberlakukannya inventarisasi gas rumah kaca (GRK), maka stock karbon dan penyerapan karbon dapat dihitung, setiap propinsi dan kabupaten/kota atau suatu wilayah.
Sebagaimana diketahui penyerapan Carbon dioksida (CO2) yang paling banyak adalah kawasan hutan, maka bagi daerah propinsi atau kabupaten/kota yang memiliki hutan yang luas, khususnya hutan lindung, PEMDA tersebut layak mengajukan program perdangangan karbon kepada Negara-negara industri.  
Kita mengetahui bahwa melalui teknologi Citra Satelit yang difasilitasi Google earth di internet (dunia maya), semua manusia sudah dapat melihat keberadaan hutan di setiap Negara. Artinya areal atau kawasan yang masih berhutan pada setiap Negara dapat diketahui oleh setiap orang yang mengakses lewat internet. Oleh karena itu bagi setiap propinsi atau Kabupaten/Kota yang memiliki hutan yang cukup luas, dapat dengan mudah menunjukkan keberadaan hutannya dan segera mengajukan program pengelolaan kawasan hutan tersebut kepada Negara industri untuk mendapatkan dana konpensasi.

Sebagai contoh di Kalimantan Timur tepatnya di Wana Riset Semboja, seluas 100 Ha hutan telah disertifikasi untuk perdagangan Karbon dengan Negara Jerman, dari hasil perhitungan data di lapangan, diperoleh  bahwa setiap hektar hutan tersebut rata-rata memiliki jumlah karbon/penyerapan karbon sebesar 25 metrik ton. Harga satu metric ton carbon dibayar Jerman adalah US$ 5 per ton per tahun, sehingga untuk 100 Hektar tersebut, maka kompensasi dari komitmen menjaga hutan tersebut, adalah 100 ha x 25 ton x US $ 5 = US $ 12.500. Jika 1 US $ adalah Rp. 9.000, maka untuk setiap tahun diperoleh dana dari Jerman sebanyak Rp. 112.500.000,-

Negara Australia melalui Lembaga Carbon Strategig Global (CSG) menawarkan dana kompensasi kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sebesar Rp. 900 Milyar per tahun atas penyerapan CO2 dan produksi O2 dari keberadaan 865.560 Ha Hutan Lindung di Propvinsi Sumatera Barat, yang tersebar di 11 kabupaten/kota (MS Kaban – detikNews, 13/08/2009). Sekarang permasalahannya bagaimana Pemerintah Sumatera Barat membuat komitmen dengan CSG Australia tersebut agar dana yang ditawarkan dapat terealisasi.

Perdagangan karbon bukan saja bagi  Hutan Lindung, bagi kawasan hutan di luar Hutan Lindung, seperti hutan produksi dan hutan lainnya,  sepanjang PEMDA SETEMPAT dapat memberikan program yang jelas yang berkomitmen menjaga hutan dengan baik, yang tentunya didukung data inventarisasi GRK yang akurat dengan menggunakan metoda pengukuran yang sudah diakui tingkat Internasional, seperti metoda yang diterbitkan oleh IPCC, maka terbuka kemungkinan bagi Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/kota akan mendapatkan kucuran dana kompensasi menjaga hutan dari Negara industri, melalui perhitungan penyerapan CO2 dan Produksi O2, atau lebih dikenal dengan  Perdagangan karbon (Carbon Trade).

Jika perdagangan karbon antara Pemda dengan Negara Industri ini, dapat berlangsung dalam jangka waktu lama, maka perdagangan karbon tersebut dapat menjadi Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap tahunnya.
=====00000=====

Senin, 09 Januari 2012

KEPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG YANG HAMBAR

ADA APA DIBALIK KEPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI
NOMOR 2642.K/Pid/2006 YANG DIBIARKAN BERLALU

Oleh : Ir. Roland Hutajulu

Bangsa Indonesia sejak reformasi, sangat berharap penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya, sehingga semua masyarakat menyambut dengan penuh suka cita dan penuh harap, ketika mundurnya Suharto sebagai Presiden yang berkuasa selama 32 tahun. Namun setelah 14 tahun reformasi berjalan, ternyata bukan harapan yang jadi kenyataan, akan tetapi kekecewaan yang datang, karena penegak hukum di Negara tercinta ini ternyata belum dapat berbuat sebagaimana diharapkan bangsa ini.
Salah satu contoh yang membuat hati ini prihatin dan kecewa, adalah terhadap pelaksanaan  keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 2642.K/Pid/2006 tanggal 12 Pebruari 2007 yang memutuskan DL Sitorus dkk, terbukti  secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana : MENGERJAKAN DAN MENGGUNAKAN KAWASAN HUTAN SECARA TIDAK SAH DAN DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA DAN DALAM BENTUK SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT. Dalam keputusan tersebut barang bukti berupa :
1.       Perkebunan Kelapa Sawit di kawasan hutan Padang Lawas seluas ± 23.000 Ha yang dikuasai oleh Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan dan PT. Torganda beserta seluruh bangunan yang ada di atasnya
2.       Perkebunan Kelapa Sawit di kawasan hutan Padang Lawas seluas ± 24.000 Ha yang dikuasai oleh Koperasi Parsadaan Masyarakat Ujung Batu (PARSUB)  dan PT. Torus Ganda beserta seluruh bangunan yang ada di atasnya, dirampas untuk Negara dalam hal ini Departemen Kehutanan.

Perlu diketahui bahwa proses hukum sampai terlaksana putusan Mahkamah Agung tersebut sudah memakan waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang cukup besar. Sejak tahun 1998 baik oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, dan Pemerintah Daerah Propvinsi Sumatera Utara, maupun Departemen Kehutanan, termasuk PT. Inhutani IV (Persero) selalu berupaya agar perambahan yang dilakukan DL Sitorus dan kawan-kawan, segera dihentikan, dan upaya ini dilakukan berjalan terus, seiring dengan berjalannya waktu, dan setiap instansi  sebagaimana dimaksud diatas selalu berupaya agar perambahan hutan yang mengakibatkan kerugian Negara sampai ratusan milyar rupiah dihentikan dan pelakunya diproses sesuai ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku di Negara ini.

Kawasan hutan yang dirambah oleh DL Sitorus dan kawan-kawan, adalah kawasan Register 40, yang ditetapkan sejak Pemerintahan penjajahan Belanda, artinya sejak dulu kawasan tersebut sudah  di plot atau dialokasikan menjadi kawasan hutan, karena pada waktu itu Pemerintah Penjajahan Belanda mengacu kepada berbagai pertimbangan antara lain ;  tipologi kawasan tersebut relatif mencerminkan kondisi hutan di Sumatera Bagian Utara, dan keaneka ragaman jenis tumbuhan dan satwa yang tumbuh dikawasan hutan tersebut dapat mewakili kawasan hutan yang ada di Sumatera bagian Utara.

PT. Inhutani IV  yang dulu mengelola sebagian kawasan tersebut (95.000 Ha), banyak bekerja sama dengan pihak lain seperti Badan Penelitian Kehutan Aek Nauli (Departemen Kehutanan), Fakultas Kehutanan IPB Bogor, untuk melakukan penelitian dan pengembangan, adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah:  penelitian mikro organisma, keaneka ragaman tumbuhan dan hewan serta penelitian teknik eksploitasi (TPTI, TPTJ, TJTI dan HTI), yang tentunya nilainya tidak hanya diukur dengan uang, tetapi juga bernilai untuk kepentingan Pendidikan, Kesehatan dan Lingkungan. Dengan demikian kerugian Negara sebenarnya tidak hanya diukur dari kayu yang ditebang oleh DL Sitorus dkk saja, akan tetapi juga kerugian rusaknya lingkungan sebagai sumber genetic dan plasma nutfah, dan juga kekayaan mikro organisma yang hilang  yang belum sempat diteliti terkait dengan jenis dan manfaatnya

Pada awal Tahun 2007 tepatnya pada tanggal 12 Pebruari 2007, Mahkamah Agung telah mengambil keputusan Inkrah (tetap) setelah Majelis Hakim dari tingkat pertama, dengan Majelis Hakim tingkat tinggi membuat keputusan yang berbeda.

Sebagai tindak lanjut keputusan tetap dari Mahkamah Agung tersebut, maka aparat pemerintah diperintahkan untuk melaksanakan eksekusi lapangan, namun sampai bulan Nopember 2011, artinya hampir lima (5) tahun setelah keputusan Mahkamah  Agung tersebut, ternyata eksekusi belum juga dilaksanakan.

Perlu dipertanyakan mengapa sampai sekian lama, eksekusi belum dilaksanakan, ada apa dibalik semua ini, dimana wibawa hukum di Negeri ini, kenapa ada pembiaran yang seharusnya ada uang masuk ke Negara, yang dapat digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Setahu kita, pada umumnya pihak Kejaksaan yang bekerja sama dengan Kepolisian selalu melaksanakan sesegera mungkin eksekusi hasil keputusan Pengadilan dan Mahkamah Agung, kalau sudah berkaitan dengan asset Negara, namun untuk melaksanakan di lokasi register 40 (Kawasan hutan yang dirambah oleh DL Sitorus dkk.) nampaknya pihak Kejaksaan dan Aparat Kepolisian belum ada niat untuk melakukan eksekusi lebih serius dan tegas, sehingga sampai sekarang DL Sitorus dkk, masih berkuasa di kawasan tersebut (bayangkan 5 tahun pendapatan Negara sekitar ratusan miliyar rupiah, mungkin mendekati Triliyunan rupiah, hilang begitu saja).

Semua Instansi Terkait Masih Saling Mencari Dasar Hukum

Setelah keluar keputusan Mahkamah Agung nomor 2642 K/PID/2006, maka semua instansi yang berkaitan dengan asset yang dirampas oleh Negara, sesuai keputusan MA tersebut, saling menunjukkan keinginan masing-masing seolah-olah serius melakukan fungsi dan tugasnya, dengan membuat peraturan dan ketentuan masing-masing instansi. Dalam kenyataannya peraturan dan ketentuan tersebut bukan untuk mempercepat terlaksananya eksekusi, malahan membuat beberapa instansi menjadi bingung dan sulit mengerti.
Ada baiknya kita melihat sekilas pandang apa yang sudah dilakukan masing-masing instansi yang berkaitan dengan tindak lanjut keputusan MA RI tersebut:

Kejaksaan
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara telah melakukan eksekusi di kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Medan) dan menyerahkan barang rampasan kepada Pemerintah cq. Kementerian Kehutanan, sesuai Berita Acara nomor 22, tanggal 26 Agustus 2009
Kementerian Kehutanan
Kementerian Kehutanan, setelah menerima hasil keputusan Mahkamah Agung nomor 2642 K/PID/2006, dimana dalam putusan tersebut menyampaikan :
Perkebunan Kelapa Sawit di kawasan hutan Padang Lawas seluas -/+ 23.000 Ha yang dikuasai oleh Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan dan PT. Torganda beserta seluruh bangunan yang ada di atasnya dan Perkebunan Kelapa Sawit di kawasan hutan Padang Lawas seluas -/+ 24.000 Ha yang dikuasai oleh Koperasi Parsadaan Masyarakat Ujung Batu (PARSUB)  dan PT. Torus Ganda beserta seluruh bangunan yang ada di atasnya, dirampas untuk Negara dalam hal ini Departemen Kehutanan,  maka  Departemen Kehutanan (Kementerian Kehutanan) telah melakukan tindak lanjut sebagai berikut :
1.  (1) Menunjuk Badan Pengelola Sementara Eks Aset Terpidana DL Sitorus di Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas, yang terdiri dari  Badan Pengawas dan badan Pelaksana Pengelolaan yaitu PT Inhutani IV (Persero).
2.  (2) Mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Dalam Kawasan Hutan Eks Perkebunan KPKS Bukit Harapan dan PT. Torganda serta Koperasi PARSUB dan PT Torus Ganda di Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas seluas 47.000 Ha Propinsi Sumatera Utara.
3. (3) Menyampaikan surat Somasi I s/d III kepada Direksi/Pimpinan PT. Torganda/KPKS Bukit Harapan, dan Direksi/Pimpinan PT. Torus Ganda/Koperasi PARSUB. 

Kementerian Keuangan
Kementerian keuangan yang selalu berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tanggal 4 September 2007, menyebabkan tindak lanjut keputusan MA RI ini jadi tersendat-sendat.

PT. Inhutani IV (Persero)
PT. Inhutani IV (Persero) selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ketika menerima tugas dari Pemerintah sebagai Badan Pengelola Sementara sampai ditunjuknya Badan Pengelola Defenitif oleh Pemerintah, sudah melakukan persiapan, baik dari aspek administrasi maupun dan aspek Organisasi.
Kementerian Kehutanan dalam menunjuk PT. Inhutani IV (Persero) sebagai badan Pengelola Sementara, memiliki alasan yang kuat, karena :
-          Kawasan hutan Register 40 yang dirambah oleh DL Sitorus dkk, adalah eks areal HPH PT. Inhutani IV (Persero)
-          PT. Inhutani IV (Persero) selaku pemegang ijin HPH, selalu aktif dan berperan serta dalam setiap proses hukum yang berjalan sampai terbitnya keputusan Mahkamah Agung RI.
-          PT. Inhutani IV (Persero) lebih mengenal kondisi lapangan, baik fisik maupun sosial budaya masyarakat setempat
-          PT. Inhutani IV (Persero) sebagai Badan Usaha yang dilibatkan  Pemerintah dalam Program Indonesia Hijau 2025, sangat tepat melakukan misi rehabilitasi paskah kebun sawit di Register 40.
Jika eksekusi lapangan belum juga dilaksanakan oleh Kejaksaan, maka PT. Inhutani IV (Persero) tidak akan dapat melakukan tugasnya untuk mengelola asset Negara tersebut.

Masih adakah Harapan
Kalau kita berbicara dari sudut ranah hukum, dapat dikatakan sebenarnya tidak ada masalah lagi bagi Aparat dalam pengambil alihan (Eksekusi) Perkebunan Kelapa Sawit yang di bangun oleh DL. Sitorus dkk, pada kawasan Hutan (Register 40). Kawasan ini sudah dikukuhkan sejak jaman Penjajahan Belanda, akan tetapi karena ada kekuatan lain yang diperkirakan dapat melampaui kekuatan aparat (Kejaksaan), maka sampai saat ini eksekusi belum juga terlaksana.

Pemerintah ternyata tidak dapat tegas menjalankan aturan dan peraturan jika berhadapan dengan orang atau oknum yang berduit, sehingga proses penyelesaian hukum selama ini dibuat berkepanjangan dan bertele-tele yang secara tidak langsung memberikan kesempatan bagi terpidana untuk meraup keuntungan. Kalau  demikian hal nya, maka yang tetap menjadi korban adalah masyarakat, karena penerimaan Negara yang seharusnya untuk menopang pembangunan, ternyata tidak kunjung ada.

Jika memang hukum tidak bisa dijalankan lagi secara murni dan konsekwen, maka mungkin usul ini dapat menjadi solusi yaitu; dari pada penerimaan Negara tidak kunjung ada, maka untuk mendapatkan penyelesaian pengelolaan kawasan ini, perlu dilakukan kebijaksanaan dengan melibatkan DL. Sitorus dkk, ikut serta melaksanakan pengelolaan kebun dimaksud dengan tetap menjalankan komitmen untuk mengembalikan kawasan Register 40 ini, menjadi hutan kembali.

Kebijakan seperti ini, memang belum pernah ada dalam  ketentuan dan peraturan hukum yang berlaku saat ini, namun perlu diperhitungkan dan dipertimbangkan, bahwa demi kepentingan masyarakat luas dan keselamatan lingkungan secara global, mungkin kebijakan ini dapat menjadi salah satu alternative solusi yang baik.
----0000----